Bab 1

260 25 14
                                    

Tentu, udara Amerika pernah lebih parah dinginnya dibanding udara Jakarta siang ini. Siang yang mendung disertai angin kencang yang memuat butiran air, dinginnya terasa seperti menembus daging dan menusuk tulang. Tapi tetap saja, bagi pria yang mengenakan trench coat Burberry yang baru saja menginjakkan kakinya di bagian timur luar bandara itu, udara hari ini berhasil membuatnya menggulung kerah trench coatnya tersebut sampai pangkal lehernya.

Andreas, pria tersebut, baru saja berjalan keluar dari bandara sambil menarik koper, ketika manik matanya melihat sebuah taksi yang berhenti beberapa meter di depannya. Merasa sangat lelah dan tidak ingin taksi itu segera direbut orang lain, sambil melambaikan tangan pada sopirnya, Andreas berlari kecil menghampiri taksi tersebut.

Sopir taksi yang melihat Andreas memanggilnya, segera berlari menghampiri pria itu, menawarkan diri untuk membawa koper yang tengah dipegang Andreas, lalu memasukkannya ke dalam bagasi, sementara Andreas membuka pintu belakang mobil dan menghempaskan tubuhnya yang benar-benar lelah di bangku belakang taksi. Dia mendesah lemas, dan setelah sopir itu kembali masuk ke dalam taksi, Andreas memberinya secarik kertas bertuliskan alamat sebuah perusahaan. Dengan sekali lihat, sopir itu mengangguk, dan segera melajukan taksinya, tanpa banyak bertanya.

Amerika adalah tempat yang sangat jauh, dan membutuhkan waktu berjam-jam untuk bisa terbang pulang ke Indonesia. Andreas, pria berpotongan rambut semi long hair tersebut kini hanya duduk sambil menatap pemandangan di luar jendela taksi. Tidak banyak yang berubah, pikirnya. Jakarta masih sama seperti dulu, macet. Atau mungkin malah semakin parah.

Hari ini merupakan hari pertama di bulan Desember, dan langit Jakarta benar-benar terlihat gelap. Kumulus-kumulus nimbus berarak dengan rapat, tidak menyisakan satu pun celah untuk membiarkan cahaya matahari masuk. Entah kapan, namun yang jelas Andreas yakin hujan sebentar lagi akan turun dan mengguyur kota Megapolitan ini dengan berkubik-kubik air.

Hujan akan segera turun, dan itu merupakan satu hal yang paling dirindukannya dari Indonesia. Bau tanah yang basah dan bunyi katak yang bersahutan diiringi bunyi tetesan air yang jatuh ke genangan, dan sebuah ingatan akan seseorang tiba-tiba memenuhi ruang pikirannya. Tak menyisakan tempat sedikit pun untuk hal lain. Hanya untuk kenangan itu, yang sudah dia simpan dengan baik selama beberapa tahun ini.

Hujan di bulan Desember, apa kabarnya perempuan itu sekarang? Masihkah dia keras kepala dan manja? Atau sudah berubah menjadi wanita yang mandiri dan berwibawa? Waktu bisa mengubah apa saja, tidak akan ada yang tahu bagaimana dia bisa menjungkir balikkan hidup seseorang. Masihkah dia menyunggingkan senyum, di saat pertemuan terakhirnya dengan wanita itu, hanya sorot mata murka dan alis tertekuk yang dilihatnya? Wanita itu, entah kenapa tidak pernah bisa menghilang dari pikiran Andreas barang sedetik pun. Dia tidak mengerti kenapa, namun yang jelas dia tahu selama ini hatinya benar-benar telah dicuri oleh wanita itu, dan dia terlambat menyadarinya.

"Sudah sampai mas," ucap sopir taksi tadi sambil menoleh pada Andreas, dan membuyarkan lamunan pria berahang tegas itu.

Andreas dengan cepat merogoh saku belakang celananya, meraih dompet, dan mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan sambil kemudian memberikannya pada sopir taksi tersebut. "Ambil saja kembaliannya pak," ucap Andreas sambil tersenyum.

"Wah, terima kasih banyak mas," timpal si sopir, yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Andreas, sambil kemudian keluar dan mengeluarkan koper dari bagasi.

Sudah hampir lima tahun berlalu setelah dia meninggalkan Jakarta. Tidak tahu apa yang akan dia lakukan sekarang di kota ini. Tidak pernah terbesit satu pikiran pun dalam kepalanya, bahwa dia akan pulang dan tinggal kembali di sini. Selama ini dirinya tidak pernah mempunyai tempat persinggahan yang tetap. Pekerjaannya yang fleksibel malah selalu menuntutnya untuk tinggal di tempat-tempat baru. Heidelberg, Verdun, Harlem, Sophia, Istanbul, Kyoto, Bangkok, dan yang paling terakhir Manhattan, di sanalah tubuhnya pernah berbaring sambil menatap bulan dan bintang di langit malam yang berbeda-beda.

Hujan Bulan DesemberWhere stories live. Discover now