13. Opportunely Or Fate ?

12.3K 671 6
                                    

 Rissa menatap dalam pantulan matanya dalam cermin. Dari semalam, ia tak bisa tidur. Bimbang dengan keputusannya sendiri.

 Benarkah ia masih mampu untuk bersikukuh menjaga hatinya sedangkan keberadaan Orion pun ia tak tahu. Ditambah dengan keberadaan Mario yang mampu membuatnya melupakan sosok Orion yang selama bertahun-tahun selalu menghantuinya ketika ia berdekatan dengan cowok selain keluarganya –bahkan Alvan sekalipun.

 “Kak, buruan gih. Mbak Andin udah siap.” Tegur Mamanya di ambang pintu. Membuatnya tergagap kemudian menoleh dengan cepat.

 “Iya, Ma.” Setelah mamanya pergi, ia memakaikan outer kebaya modifikasi miliknya yang mirip seperti cape kemudian memasangkan pashmina coklat muda untuk menutupi rambut panjangnya. Setelah itu ia mengambil high heels silver miliknya untuk menyeimbangi kerlap-kerlip kebaya modifikasinya.

 Setelah dirasa sempurna, ia melangkahkan kakinya ke kamar sebelah. Kamar kakak sepupunya menunggu Radit selesai mengucapkan ijab kabul di masjid agung kota yang lokasinya tak jauh dari perumahan budhenya ini.

 “Mbak Andin, udah siap? Ayo kita berangkat.” Ucapnya sambil menyembulkan kepalanya. Mencoba melihat sepupunya yang sedang panas dingin itu. “Subhanallah, Mbak Andin cakep banget.” Sedetik kemudian tubuhnya sudah berada di kamar sepupunya yang lumayan luas itu.

 “Udah ah. Keburu Radit selese nanti kalo kita nggak berangkat-berangkat.”

 Ia pun meringis menahan tawa kemudian menekan tombol unlock pada kunci mobil ayahnya yang sengaja di tinggal karena ayahnya ikut rombongan wali dari pihak mempelai perempuan.

 “Lah !? Kok outlander ayahmu jadi feminim gini?”

 “Aku sama Kak Rissa kemarin malem ndandanin mobil ini biar cantik kayak Mbak Andin.” Ucap Elenna –adik perempuannya sambil merentangkan tangannya di samping mobil.

 “Ayo, katanya tadi disuruh buru-buru.” Ujar Rissa yang sudah siap di balik kemudi. “Mama ikut mobil ini apa sama mobilnya Budhe?” Tanyanya pada sosok Mamanya yang masih tertawa bersama budhe dan ketiga tantenya.

 “Mama barengan sama budhe aja.”

 “Yang nyetirin?”

 “Tenang, nduk. Ada Pak Slamet.” Ucap Budhenya lembut dengan aksen jawa tengahan yang kental. Membuatnya terkekeh geli. “Ndang berangkat duluan, gih!”

 “Iya, Budhe. Assalamualaikum.” Salamnya kemudian disusul dengan salam dari Andin, kakak sepupunya. Setelah itu ia memasang gigi dan menginjak pedal gas mobilnya menuju ke Masjid Agung kota yang jaraknya hanya satu kilometer dari rumah budhenya ini.

 Kemudian ia melirik Elenna yang masih setia menenangkan kakak sepupu mereka yang gemetaran. Jangankan Andin, ia saja yang notabenenya bukan pengantin ikut gemetaran.

 “Kita balik yok, Riss.” Ucapan kakak sepupunya ini membuatnya melongo maksimal, sampai mulutnya ternganga. Kemudian ia melirik adiknya yang ternyata berekspresi sama. Untung saja posisinya sedang di trafict light yang untungnya sedang menyala merah. Kalau tidak, bisa dijamin belakang mobil ayahnya ini bakal kena santap motor di belakangnya.

 “Loh enak aja main balik ! Udah di bela-belain bangun pagi buta-ta-ta-ta banget loh, Mbak !” Protesnya sambil memasang gigi kemudian menginjak pedal gas.

 “Abis Mbak gemeteran, nih !”

 “Salah sendiri mau nikahan !”

 “Iya tuh, coba kalo Mbak Andin nggak mau nikah, pasti nggak gemeteran gini, kan?”

 “Ya terus kalo Mbak nggak nikah emang kalian mau liat mbak jadi perawan tua?”

 “Itu sih risiko.” Tambahnya cepat-cepat sambil terkekeh kemudian bertos-ria dengan adiknya. Membuat kakak sepupunya bersungut-sungut sebal.

Lovey DoveWhere stories live. Discover now