26. Confusion

11K 627 12
                                    

Sudah beberapa minggu sejak Mario mengajaknya ke rumah cowok itu –yang ternyata ada di apartemen elit di daerah Citraland sebelum akhirnya Mario menghilang tanpa jejak ataupun kabar seperti ini.

Berkali-kali ia turun ke pantry hanya sekedar untuk melihat tempat yang biasanya Mario tempati. Pasti kalian semua mengira bahwa selama ini ia tak tahu bahwa Mario telah menjadi pelanggan setianya.

Kalian salah.

Memang selama ini ia hanya diam dan pura-pura tak peduli dengan Mario walau sebenarnya ia selalu memperhatikan gerak-gerik Mario saat cowok memperhatikannya bahkan tak jarang ia mengikutkan nama Mario dalam doanya.

Berdoa kalau-kalau Mario akan menjadi jodohnya kelak.

Ia menyesap green tea tanpa gulanya dan menghembuskan nafas pendek-pendek untuk menenangkan dirinya. Bahkan disaat seperti ini green tea yang terkenal bisa menenangkan pikiran tak bisa membantunya.

Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Dadanya terasa sesak –sangat sesak malah. Mungkin memang inilah jalan takdirnya. Ia dan Mario memang tak bisa bersama. Terlalu sulit untuk menjalin semuanya.

Mungkin seharusnya dulu ia tidak meminta tolong pada Mario, seharusnya ia tidak perlu meladeni sikap Mario yang ingin mengajaknya berkenalan, seharusnya ia tidak pernah jatuh kedalam perasaannya pada Mario, seharusnya.

Setetes air matanya jatuh, disusul dengan tetesan-tetesan berikutnya. Kenapa cinta segini menyakitkannya? Parahnya, kenapa ia masih sanggup merasakan cinta setelah ia dua kali jatuh di lubang yang berdekatan.

Astaga! Ia meremas pola desain bonekanya dengan kasar. Kalau bisa dan kalau ada, ia ingin menntransplantasi perasaannya dengan semen atau batu agar mati rasa, agar ia tak perlu merasakan sakitnya cinta.

“Rissa.” Ucap Risca saat menaiki beberapa anak tangga yang menghubungkan lantai dua dengan tempatnya berkutat dengan boneka-boneka hasil jahitannya. “Ini ada telefon dari Mamamu, katanya hapemu nggak bisa di hubungin.” Tambahnya sambil menyerahkan ponselnya.

“Sorry, hapeku di kamar.” Bisiknya sambil tersenyum simpul. Kemudian di ambilnya ponsel Risca yang baru saja di sodorkan.

“Halo assalamualaikum, Mah.” Sapanya pada mamanya yang ada di seberang telefon.

Waalakumusalam, Kak. Kamu kenapa kok telefon dari mama nggak diangkat?” Tanya mamanya dengan nada khawatir as always ketika ia tak menjawab telepon atau sms.

“Hapeku di kamar mah, ini aku lagi keasyikan benerin boneka yang belum kelar.”

Halah, kamu itu. Seneng banget bikin mama khawatir.” Gerutu mamanya yang mau tak mau membuatnya terkekeh geli.

Gomenasai, Okaasan.” Candanya masih sambil terkekeh. “Tumben mama telefon pagi-pagi. Kenapa, Mah?”

Terdengar helaan nafas mamanya di seberang telefon, membuatnya tersenyum getir. “Ada yang ngelamar kamu, Kak.”

Sudah ia duga.

“Oh ya? Bagus dong, Mah.”

Iya.” Lirih mamanya diikuti dengan helaan nafas berat. “Tapi mama nggak yakin kamu bakal mau sama calonmu ini, Kak.

Rissa tersenyum simpul. Ia tahu, mamanya ini hanya tidak ingin membuatnya kecewa. “Rissa yakin kalo mama sama ayah pasti punya pilihan terbaik buat Rissa.”

Mama Cuma takut, kalo pilihan mama sama ayah ini salah. Dan kamu yang–

“Mama, mama jangan negative thingking gitu dong. Doanya yang baik-baik aja biar ntar yang jadi kenyataan juga yang baik-baik.” Potongnya dengan suara yang bergetar samar. “Gini deh ya, Mah. Kalo mama sama ayah cocok sama orang yang ngelamar Rissa, yaudah Rissa pasti setuju.”

Lovey Doveحيث تعيش القصص. اكتشف الآن