14. Opportunely Or Fate ?

11.6K 620 7
                                    

Rissa merebahkan dirinya sebentar ke kasur super empuk yang dari pagi buta sampai sore ini belum disentuhnya sama sekali. Padahal bukan dirinya yang menikah, tapi kenapa tubuhnya ikut remuk disana-sini ya?

Untung saja air hangat yang mengalir dari shower tadi mampu membuat remuknya s-e-d-i-k-i-t hilang. Ingat ! Sedikit. Tapi ya mendingan deh, dari pada tidak sama sekali kan? Mengingat betapa remuknya nanti di segmen kedua yang akan berlangsung sampai jam sebelas malam.

“Kak Rissa buruaaaan !” Teriak adiknya yang menggelora dan membahana kemudian diikuti suara keras pintu dibuka. “Loh kok malah tiduran seh? Masih pake handuk lagi. Buruan ! Nanti si Mama marah-marah terus kita dimarahin terus akhirnya––“

“Iye-iye ! Bentaran dulu napa ! Keluar dulu gih, Kak Rissa mau ganti baju, nih!” Potongnya sebelum telinganya merana mendengarkan omelan super panjang adiknya itu. Mirip banget sama mamanya kalo lagi ngomel.

“Jangan lama-lama !”

“Iya ah bawel banget ! Kalo mau cepet, ikut mobilnya mbak Andin sama Mas Radit aja deh, Na!”

“Terus jadi obat nyamuk gitu? Huh, no way !” Balas Elenna sambil menggerakkan jari telunjuknya ke kanan. “Lima belas menit harus udah selese. Kalo nggak aku nyetir sendiri !”

“Iya gih setirin sendiri aja sono ! Ntar kamu sms deh rumah sakit mana yang mau nampung kamu.”

“Ih Kak Rissa jelek ah ! Doanya jelek banget !” Setelah itu hanya terdengar debuman pintu karena dibanting Elenna. Sedetik kemudian, ia bangkit dari kegiatan leyeh-leyeh-nya dan beranjak untuk mengambil outfits yang telah ditata rapi ke dalam almari.

Setelah menimang-nimang selama beberapa menit, akhirnya ia memutuskan untuk mengambil tank top yang ia padukan dengan long blazer bewarna peach yang panjangnya sampai sekaki dan berlengan tiga perempat, celana jeans bewarna merah pastel, dan pashmina polos senada dengan celananya.

Sebelum itu di polesnya wajahnya dengan make up tipis dengan pilihan warna yang senada dengan outfits yang dipilihnya.  Kemudian ia mengoleskan lips balm bewarna natural.

Setelah dirasa selesai, ia mengambil ikat pinggang putih berkepala bunga mawar untuk mengikat long blazernya agar tank topnya tidak terekspos. Setelah itu diambilnya flat shoes peach bertali miliknya. Kemudian memasangkan jam tangan putihnya sambil mengambil kunci mobil dan ponselnya dengan cepat.

“Gitu aja lama banget seh, Kak!”

“Bawel ah !” Rissa pun tersenyum geli ketika adik perempuannya melangkah cepat mendahuluinya, sampai-sampai rok biru pastel selututnya bergoyang-goyang.

Kemudian ia menjalankan mobilnya menuju ke ballroom hotel berbintang milik relasi Mas Radit yang jaraknya tak lebih dari lima kilometer –itu juga kata mbak Andin dengan diam. Ia tak mau mendengarkan ocehan panjang adiknya yang sedang badmood karena kelamaan menunggu tadi.

Cukup dua puluh menit untuk sampai ke basement hotel. Setelah memarkirkan outlander milik ayahnya, ia berjalan mengekori adiknya –yang masih saja gondok sejak tadi sambil membalas pesan singkat dari Tania.

Saking asiknya, ia sampai tak memperhatikan undakan jalan dan membuatnya hampir terantuk pintu lift yang sekarang sudah menutup total dan menghapus wajah cengoh adiknya yang sudah di dalam lift duluan.

“Makasih ya… Loh !?” Suaranya tercekat begitu saja saat mengetahui orang yang telah menahan lengannya agar kepalanya tidak terantuk pintu tadi. “Kok kamu disini seh, Mar?” Tanyanya lagi. Membuat pemuda di hadapannya terkekeh geli.

“Mau ke resepsi nikahan temen.”

“Temen?” Ulangnya tak percaya. “Nikahan juga? Kebetulan banget ya. Emangnya di hotel ada berapa ballroom seh?”

“Satu.”

“Kalo gitu temenmu resepsinya di restonya hotel dong?” Mario hanya menggeleng pasti dengan senyuman yang masih bertengger di bibirnya. “Loh la terus temenmu resepsinya dima–– Omaigat ! Jangan bilang temenmu itu Mas Radit?”

Sedetik kemudian Mario meledakkan tawanya yang sedari tadi ia tahan. “I don’t say it, babe.” Balasnya sambil menekan tombol panah ke bawah di dekat pintu lift.

“Kok bisa seh Mas Radit kenal sama kamu? Perasaan waktu aku cerita aku magang di––”

“Udahan dulu deh, Riss. Keburu liftnya ketutup lagi.” Potong Mario yang tiba-tiba saja sudah menggenggam erat tangannya. Membuat jantungnya lompat kesana-kesini.

Sampai di dalam lift pun Mario sepertinya enggan melepaskan genggaman tangannya. Membuatnya benar-benar masuk ke dalam suasana canggung dan sunyi. Suasana yang teramat dibenci olehnya.

“Mar.”

“Hm?

“Yo.”

“Ya?”

Astaga ! Kenapa Mario jadi pendiam seperti ini?

“Mario !”

“Apa, sayang?”

Baru juga dibilang pendiam, sekarang udah kumat lagi deh ini orang. Dengan sebal di lebarkannya matanya ke arah Mario yang masih menatapnya dengan seringaian jahil.

“Tanganmu gimana? Udah enakan belum kalo dipake?”

Hanya terdengar helaan nafas Mario yang terdengar pasrah diikuti dengan beralihnya arah tatapan Mario dan gerakan turun bahunya. “Gue barusan rontgen. Jadi hasilnya belom ngerti. Tapi so far, udah nggak kaku lagi kok.”

Rontgen? Kok nggak ngajak aku?”

Ow-ow-ow ! Sepertinya ia salah ngomong. Mata Mario langsung tertuju tepat ke arah matanya dengan kilatan dan seringaian jahilnya. “Kenapa? Kayaknya lo pengen banget deh bedua aja sama gue, Yang.”

“Ih, apaan seh!?” Balasnya sambil memukul ringan lengan terdekat Mario. “Nggak ada untungnya juga berduaan sama situ.”

“Ada dong !”

“Apaan?”

“Untungnya ya––” Jelas terihat Mario –yang usilnya sedang kumat itu salah tingkah kemudian menatapnya dengan tatapan mata yang menyorotkan ehm– Entahlah, pokoknya menyorotkan apa yang sulit ia tangkap. “Untungnya kan kalo lo berduaan sama gue terus ya yang pasti bakalan ada Oliver kecil dong, Yang.”

Sedetik-dua detik-tiga detik ia mengerjap beberapa kali. Menatap Mario yang masih menatapnya jahil lengkap dengan seringaiannya. Sampai akhirnya ia memukul lengan Mario dengan gerakan cepat.”Ih mesum banget seh jadi orang !” Balasnya sambil sesekali memukuli–eh ralat, terus memukuli Mario yang lagi asik-asiknya tertawa seenak sendiri dan sesekali mengaduh karena tangan kanannya yang rawan terkena pukulan ringannya.

“Ampun dong, Yang. Astaga ! Bar-bar banget sih lo jadi cewek.” Entah apa yang dilakukan Mario, kini tangannya sudah diikat dengan jari tangan Mario dan diletakkan di bekalang tubuhnya. Sedangkan tangan Mario yang satu lagi bertengger manis di dagunya.

Entah Mario sadar atau tidak, yang jelas perlakuannya itu membuatnya diam tak berkutik karena memang ia sudah dihimpit dengan dinding lift dan tubuh Mario sendiri. Dan juga karena debaran jantungnya yang semakin menggila ini. “Jadi cewek itu yang lembut di––”

“Astagfirullah, Kak Rissa !?”

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Lovey DoveOnde histórias criam vida. Descubra agora