27. A New Fact

12K 622 16
                                    

3 bulan kemudian…

Berjalan mondar-mandir seperti seterikaan di teras rumahnya yang terlihat sejuk. Ia mulai resah dengan keputusan yang ia ambil. Ini sudah kurang empat belas hari lagi dan semua undangan sudah disebar. Bahkan beberapa kebaya yang ia pilih beberapa bulan lalu sudah bertengger di manekin dan diletakkan di rumahnya. Ia paham benar bahwa ini semua tak mungkin ia batalkan karena–

“Duh, Ya Allah.” Keluhnya sambil duduk bersila di lantai dingin teras dan mengusap keningnya dengan telapak tangannya.

Mimpi tentang pernikahan masih saja menghantuinya. Bahkan akhir-akhir ini ia sering bermimpi bahwa calon suaminya itu adalah temannya semasa SMA yang sangat sensi terhadapnya. Bukan akhir-akhir ini, tepatnya sudah seminggu ini. Entah karena apa. Di tambah lagi mamanya memberinya klu bahwa calonnya ini pernah menjadi temannya.

Teman yang mana, Mama?!!!

Ya, memang ini semua keputusannya dari awal. Ia tak ingin mengetahui semua tentang calonnya. S-E-M-U-A. Tapi sekarang, setelah mimpi-mimpi itu datang terus menerus dengan tokoh yang sama ditambah dengan info dari mamanya membuatnya mulai resah. Ia juga tak mungkin mengambil keputusan yang kekanakan dengan alasan –you know what.

“Udahlah, Riss. Kalo memang si Dennis jodohmu, yaudah terima aja. Lagi pula dia juga cakep, tajir, baik, taat agama, sopan lagi.”

“Duh, bukan anaknya, Ca. Kalo anaknya aku bisa terima. Tapi ini sensinya dia itu loh. Jelas-jelas dia itu judes banget sama aku.” Ucapnya dengan gusar, diiringi dengan helaan nafas frustasi.

I’d told you before, dia itu suka sama kamu, Riss.” Balas Erisca dengan menekankan bagian yang terakhir. Ia terdiam sambil menatap sahabatnya ini. Ini memang bukan pertama kalinya Erisca menekankan bahwa dibalik sikap judes Dennis kepadanya ada rasa cinta untuknya.

Well, kayaknya aku mesti bukak rahasia orang, nih.” Gumam Erisca sambil melangkah ke gazebo yang ada di taman.

“Rahasianya siapa?”

“Dennis.” Balasnya sambil duduk bersila kemudian memangku sebuah bantal beludru lembut. “Dulu, aku nggak sengaja nguping acaranya anak-anak ngintrogasi Dennis karena anak-anak paham banget kalo sikap judes Dennis sama kamu itu ada apa-apanya. Ditambah gelagat dia yang langsung beda waktu ada kamu di deket dia.”

“Akhirnya setelah perdebatan panjang, Dennis ngaku kalo dia judes sama kamu itu buat nutupin kalo dia itu ada rasa sama kamu. Dia bilang, dia nggak pengen ngaku ke diri dia sendiri kalo dia suka sama cewek yang bukan kriteria dia. Ya kan kamu ngerti sendiri sikapmu kayak gimana.”

“Sialan!” Ucapnya sambil memukul sahabatnya ini dengan bantal yang ia bawa.

“Terus dia bilang, dia udah bener-bener nyerah sama perasaan anehnya. Jujur, dia ngerasain tanda-tanda orang jatuh cinta waktu deket kamu. Tapi dia juga langsung put his defense up disaat yang sama, dengan sikap judesnya itu.”

Keduanya terdiam. Masa iya calon suaminya beneran si Dennis yang notabenenya adalah teman sekelas Erisca semasa SMA yang wajahnya langsung judes waktu tatap muka dengannya. Sebenarnya ia tak masalah jika itu terjadi, hanya saja– Jujur saja, di hatinya masih penuh dengan Mario.

“Terus kamu inget nggak waktu katamu pintu gedung ekstra nggak bisa dibuka dan kameramu masih di dalem kelas fotografi? Si Dennis kan yang nolongin kamu? Padahal sebenernya dia waktu itu habis dari kamar mandi terus buru-buru balik ke auditorium karena dia lagi ada rapat penting. Berhubung liat kamu kayak orang frustasi, dia dorong pintu itu dan kebuka dengan gampangnya sampai-sampai kamu cengoh. Dan katanya, kamu itu imut pas cengoh.”

Sontak matanya terbelalak kaget dan menatap tajam Erisca yang terkekeh. “Dia ngomong gitu?!”

Yes, he did.” Balas Erisca yang masih terkekeh geli. Karena memang– ya menggelikan. “Dia ngomong sendiri ke aku, setelah dia bener-bener nyerah sama perasaannya dan tau kalau aku deket sama kamu.”

“Serius dia ngomong kek gitu?” Erisca mengangguk dengan pasti. “Padahal waktu dia ngedorong pintu itu, wajahnya judes banget ke aku.”

“Itu cara dia–”

Yes I know. That’s his defense. Tapi–” Ia membasahi bibirnya kemudian menatap lama Erisca. “Terus ada hal-hal lain yang dia omongin ke kamu nggak, Ca?” Tanyanya sambil menghela nafas yang ternyata sedari tadi ia tahan tanpa sadar.

“Ada.” Ucap Erisca dengan semangatnya. Membuatnya mengerutkan kening. Bingung dengan perubahan ekspresi Erisca. “Waktu dia tanya kamu mau kuliah di mana terus jurusan apa, dia langsung lemes. Terlalu beda, katanya.”

“Emang dia kuliah dimana, seh?”

“Di Bandung. Dia ambil bisnis manajemen.”

“Duh, itu sih nggak beda jauh sama jurusanku. Sama-sama belajar manajemennya, kan?!”

“Kok kamu jadi sewot gitu, Riss?”

Sontak ia mengerjapkan matanya berkali-kali sambil menatap bingung Erisca. Iya ya, kenapa dia jadi sewot gitu?! “Eh– Ya nggak apa. Masa sama-sama belajar manajemennya dia bilang terlalu beda. Beda nama sama universitas doang tuh.”

“Ya terserah apa kata dia dong, Riss. Kok kamu yang sewot. Jangan-jangan kamu dulu juga ada rasa ya sama si Dennis?!”

“Hah?! Idih, boro-boro deh suka. Orang waktu deket aja, bawaannya pengen kabur gara-gara wajah judesnya itu.”

Sontak Erisca tertawa. “Padahal banyak anak yang bilang kalo wajahnya Dennis itu manisnya jawa banget. Ada lesung pipinya juga loh.”

“Manis sih manis. Tapi judesnya itu loh! Bikin ngeri. Masa iya aku mau dikelilingi orang judes?! Udah cukup adikku yang judes.”

“Aku berani taruhan deh, kalo calonmu beneran si Dennis, aku jamin si Dennis nggak bakalan judes lagi ke kamu.”

“Amin deh.” Balasnya dengan senyuman masam dan membuat Erisca langsung terbahak karenanya. "Tapi ya jangan sampe kalo bisa."

Perkataan adalah doa, kan? Jadi kalaupun kemungkinan itu terjadi, semoga apa yang di ucapkan Erisca benar-benar terjadi.

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Hai ^^ buat nebus yang minggu kemarin jadi upload yang ini. Baik, kan :p Vomment ya ^^

Lovey DoveWhere stories live. Discover now