25. Struggling

11.4K 738 20
                                    

Ia melangkahkan kakinya memasuki café Lá Fleur untuk yang kesekian kalinya hanya untuk menatap seorang gadis tanpa berani mendekat.

Welcome home!” Sapa para kru café dengan kompak. Seorang gadis yang mengenakan seragam pelayan di café ini dengan semangat menghampirinya sambil membawa daftar menu. “Selamat pagi, Kakak. Mau di tempat biasa, Kak?”

Ia hanya mengangguk sambil menyunggingkan seulas senyumannya. Kemudian ia mengikuti langkah gadis ber-name tag Agnes ini ke meja yang membantunya untuk menatap gadisnya berlama-lama dari spot manapun.

Namun, setelah dua jam ia berdiam diri di tempat ini, Rissa tak kunjung menampakkan dirinya. Biasanya ia akan mendapati gadis itu di belakang pastry yang berbatas kaca bening atau ia akan melihat gadisnya itu mengecek seluruh sudut café atau sekedar bercengkrama dengan Risca.

Ia semakin gusar ditambah dengan keadaan café yang semakin ramai membuat emosinya –entah mengapa– tiba-tiba memuncak.

“Mbak, saya mau pindah outdoor yang di atas.” Ucapnya gusar pada pelayan yang melewatinya.

“Oh. Mari, Kak.” Ucapnya sambil mendahuluinya dan melangkahkan kakinya ke anak tangga transparan itu. Sesampainya di balkon ia memilih tempat duduk persis di meja paling pojok agar ia bisa langsung menatap gadisnya –kalau nasib berpihak kepadanya.

“Apa ada pesanan tambahan, Kak?”

Latte, please. Sekalian bawakan nota saya. Ah ya, tolong bungkuskan empat cupcake rasa apasaja.” Ucapnya sambil menatap lorong dimana ia bertemu Rissa untuk yang pertama setelah gadis itu menghilang seperti ditelan bumi.

“Oke ditunggu, Kak.”

Sepeninggalan gadis itu, ia merenung. Haruskah ia melakukan rencananya semalam? Bukan, bukan itu pertanyaannya. Yang ia pertanyakan, beranikah ia melakukannya? Jelas-jelas dengan melihatnya saja, Rissa sudah bergerak menjauhinya. Ia meremas rambutnya dan mengerang keras sebelum akhirnya memukul pagar pembatas di sebelahnya. Ia tak peduli tatapan segelintir orang di balkon ini. Ia hanya butuh Rissa. Itu saja.

Ia menekan kepalanya ke meja. Berharap rasa sakit yang menjalar ini hilang. Tiba-tiba ada seseorang yang memegang bahunya yang reflek langsung di sentaknya. Membuat orang itu ketakutan.

“Maaf. Saya nggak sengaja.” Lirihnya.

“Ng-nggak apa, Kak.” Balasnya gugup. Kemudian menyerahkan secangkir latte pesanannya dan sekotak cupcake. “Ini pesanannya. Dan ini notanya, Kak. Total lima puluh ribu, Kak.”

Dengan cepat, ia menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. “Terima kasih, Kak–”

Setelahnya ia tak fokus mendengar ucapan gadis itu, ia hanya bisa menatap kosong lorong di hadapannya. Ia harus bertemu dengan Rissa. Apapun caranya, ia harus menjelaskan semuanya.

Dengan langkah pasti, ia melangkah menelusuri lorong dengan menenteng sekotak cupcake pesanannya. Kakinya berhenti melangkah saat ia sudah berdiri tepat di depan pintu kaca –yang ternyata pintu balkon kamar Rissa– yang tertutup rapat.

Ia memejamkan matanya. Menghirup wangi bunga beraroma manis di sekitarnya. Mencoba menenangkan dan menstabilkan emosinya sebelum ia bertemu Rissa.

Namun, matanya terbuka saat ia mendengar samar-samar suara dentingan piano dan suara lembut yang terkesan sedikit serak. Jantungnya berdetak cepat saat ia mengenali suara itu. Seluruh tubuhnya terasa hangat dan entah mengapa membuat kakinya reflek bergerak ke sumber suara.

Kakinya berhenti melangkah tepat di sebelah kamar Rissa. Disana, gadisnya sedang bermain piano dengan mata terpejam. Gadis yang semakin terlihat manis saat anak-anak rambutnya yang jatuh membingkai wajahnya.

Lovey DoveWo Geschichten leben. Entdecke jetzt