BAB XXXVIII: his dad

4.7K 319 7
                                    







Tiba-tiba saja kamu datang. Lalu tiba-tiba saya jatuh cinta, dan sejak saat itu juga hari-hari saya berubah menjadi lebih bahagia dari sebelumnya. Alasannya adalah karena kini kamu ada.

**

            RAFA baru saja tiba di rumahnya pukul tujuh malam setelah melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu yaitu, melaksanakan sholat Maghrib bersama Alisha di masjid terdekat kompleks rumah Alisha. Keadaan rumah Rafa tak ada bedanya dengan hari-hari sebelumnya –selalu saja sepi, seolah tidak ada sumber kehidupan. Ya, faktanya juga memang tidak ada sumber kehidupan di dalamnya semenjak mamanya mengalami keadaan kritis di rumah sakit dan berakhir di panggil oleh Yang Maha Kuasa lebih cepat.

            Rumah Rafa terbilang cukup besar, megah, dan mampu membuat kesan pertama kepada orang-orang bahwa suasanya terbilang cukup nyaman. Namun, jika semuanya mengetahui apa yang dialami selama ini oleh Rafa, maka kata nyaman bahkan tak pernah terlintas di otak. Lelaki itu hanya tinggal bersama Bi Ijah yang setia untuk tetap mengikuti keluarganya sejak Rafa kecil hingga sekarang ia sudah beranjak dewasa.

            Di sekolah mungkin ia bisa terbilang sangat mudah bergaul dan banyak yang segan dengannya, namun di rumah ia selalu merasa sendiri.

            Setelah selesai membersihkan diri, Rafa mengganti pakaian dengan kaos hitam miliknya dan langsung menaikki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Namun, langkahnya terhenti setelah mendengar suara bariton yang berasal dari lantai bawah.

            "Darimana saja kamu, Rafa?" Suara Adi–papa Rafa–berhasil membuat Rafa untuk menghentikan langkahnya dan menoleh sejenak menatap papanya dengan tatapan sangat malas untuk membuka percakapan dengannya saat ini.

            "Apa peduli Papa?" tanya Rafa ketus.

            Tensi darah Adi seketika langsung naik drastis setelah mendengar jawaban yang tidak diduga dari anak semata wayangnya itu. "Rafa!"

            Rafa mendengus tak kalah kesal, ia masih ingat betul bahwa papanya sama sekali tidak menghadiri pemakaman mamanya dan bahkan ia sama sekali tidak pernah melihat papanya menjenguk mamanya di rumah sakit saat mamanya masih terbaring lemah dalam keadaan kristis. Memikirkan hal itu saja sudah benar-benar membuat Rafa muak!

            "Yang papa peduliin cuman perempuan itu dan perusahaan papa. Urus aja itu, Pa. Gak usah peduliin Rafa lagi." Nada tegas yang dikeluarkan Rafa tersebut berhasil menyelesaikan percakapan singkat yang lagi-lagi membuat tensi darah kedua belah pihak naik.

            Tanpa peduli akan jawaban selanjutnya dari sang Papa, Rafa kembali melanjutkan langkahnya menuju kamarnya dan memilih untuk menyalurkan kekesalannya pada samsak kesayangannya yang sudah bertengger di ruang khusus di dalam kamarnya sejak beberapa tahun lalu. Ia sengaja meletakkan benda tersebut di kamarnya, agar bisa dijadikan pelampiasan kekesalannya dan terbukti fungsi itu untuk saat ini.

            Berkali-kali Rafa memberikan pukulan sekuat tenaganya kepada samsak yang menggantung di kamarnya, bahkan peluh keringat sudah membasahi wajahnya serta tubuhnya. Emosinya masih belum stabil sehingga ia masih tetap setia memukul samsak yang tidak bersalah itu. Setelah merasa benar-benar lelah, Rafa memutuskan untuk berhenti dan mengistirahatkan tubuhnya di bibir kasur sambil mencopot cover tangannya.

            Rafa mengacak-ngacak rambutnya yang sudah dipenuhi keringat, namun hal itu entah kenapa justru semakin membuat dirinya terlihat lebih keren berkali-kali lipat. Bahkan gerakan ia meminum air mineral biasa saja nampak begitu menarik di pandangan kaum Hawa. Untungnya, Rafa melakukan hal itu di kamarnya sehingga tidak ada satupun yang melihatnya.

Clandestine✔️Onde histórias criam vida. Descubra agora