1. ʙᴇɢɪɴ, ᴍᴇᴇᴛ ʜɪᴍ

11.3K 945 534
                                    

Sebagian besar orang tentu percaya bahwa kebahagian tidak bisa dibeli dengan uang. Mereka selalu berpikir bahwa dengan bersama orang terdekat atau terkasihlah yang dapat merakit puing-puing kebahagiaan tersebut. Namun, perspektif masing-masing insan tentu berbeda. Begitu pula pada pemuda dengan surai legam yang tengah mengayunkan kedua kaki jenjangnya yang berbalut celana kain dengan warna biru laut itu. Namanya Park Jimin, dan ia berpendapat bahwa dengan pundi-pundi uanglah kebahagian tersebut bisa ia raih dengan mudah.

Jemari kurus dengan hiasan memar kebiruan di buku-buku jari itu perlahan menyusuri kepala ranjang yang ia tempati. Ujung kukunya bergerak mengikis karat yang bersarang lama di sana. Dinding dengan cat abu-abu yang mulai pudar, Jimin tatap dengan sepasang iris sabitnya. Sedang bibir pucat tanpa riasan apa pun itu mencoba menyenandungkan sebuah melodi acak bak lagu penghantar tidur saat malam menjemput.

"Hallo, Jimin. Ini sudah waktunya makan siang. Kau mau langsung makan atau bagaimana? Jika kau masih kenyang, aku bisa meletakannya di atas nakas saja. Tapi, jangan lupa untuk memakannya, ya?"

Figur perempuan dengan surai yang digelung ke atas tiba-tiba masuk ke dalam ruangan 4 x 3 meter itu. Dengan troli berisi mangkuk, gelas yang berjejer rapi, juga potongan buah semangka sebagai pencuci mulut, sosok tersebut mengumbar senyum manis. Senandung yang Jimin nyanyikan mendadak tersendat dengan atensinya yang beralih pada sosok yang menurutnya cukup asing dalam pandangan.

Seakan mengerti, perempuan dengan tubuh mungil itu membungkukkan badannya sedikit sebagai perkenalan diri. "Namaku Jung Anha. Aku perawat baru di sini. Kuharap kau bisa memakluminya jika aku masih sedikit canggung dalam menangani pasien." Astaga, apa yang kau lakukan, An. Kau terlihat bodoh sekali. Jemarinya secara tak sadar meremat gagang troli sebab rasa gugup yang menggerayanginya begitu hebat. Lantas, untuk menyudahi kekonyolan ini, ia berucap, "Sepertinya kau masih kenyang, ya? Jadi, aku akan meletakkannya di sini saja. Jangan lupa untuk menghabiskannya. Aku akan kembali menemanimu lagi setelah pekerjaanku selesai."

Meletakkan mangkuk berisi bubur dengan tampilan yang membosankan (atau bahkan buruk rupa), segelas air putih, dan dua potong semangka segar, Anha lekas keluar dari ruangan itu. Suasana di dalam sana sungguh berbeda dengan ruangan lain yang sebelumnya ia kunjungi. Hawanya mencengkam, pengap (dua jendela bahkan dibiarkan tertutup kendati matahari masih benderang di atas sana), apalagi ditambah dengan tatapan kelewat tajam yang diberikan Park Jimin untuknya.

Anha memang mendengar desas-desus yang mengudara tatkala ia berhasil diterima sebagai perawat baru di sini, bahwa ada seorang pasien laki-laki yang memiliki perangai aneh. Ketika seseorang kehilangan kewarasannya, terkadang orang tersebut akan bersikap tempramental; kadang ceria, kadang marah, kadang murung, atau kadang melakukan tindakan menyakiti diri sendiri. Tetapi, Park Jimin seolah menyapu bersih kriteria tersebut. Dirinya tidak seperti itu. Ia normal, barangkali. Hanya saja, di waktu-waktu tertentu, ia akan bersikap sedikit sadis dan mengerikan. Dan harusnya Anha lebih berhati-hati. Sebab, selang beberapa detik kemudian, ia dikejutkan oleh denting gelas yang menggema tepat di belakangnya.

Lekas saja perempuan itu membalikkan badan, meninggalkan troli makanannya di dekat pintu dan berjalan ke arah Jimin yang menatapnya datar, seolah-olah gelas yang baru saja jatuh tadi bukan ia pelakunya.

Merundukkan badan—bermaksud menyingkirkan beling tajam yang berhamburan ke dalam tempat sampah, nyatanya Anha dibuat menjerit kala dengan polosnya tapak kaki itu menginjaknya; menahan tangan Anha untuk semakin bersentuhan dengan serpihan kaca.

Darah segar tak elak untuk segera mengalir, membasahi lantai keramik juga telapak tangannya. Di sela-sela percobaan untuk menarik diri sesegera mungkin, Jimin malah semakin menekan tapak kakinya.

"Apa yang kau lakukan, Jim? Singkirkan tanganmu!"

Anha meringis. Syarafnya seperti tercerabut paksa hingga tangannya benar-benar tak berdaya. Ini bahkan baru hari pertama ia mulai bekerja, dan hasilnya sudah separah ini. Kiranya Anha akan mengundurkan diri jikalau ia mendapat perlakuan seperti ini lagi di lain pertemuan.

Enigma, The Shadow [Re-write] | ✔Where stories live. Discover now