13.2. ᴄʜɪʟᴅʜᴏᴏᴅ ꜰʀɪᴇɴᴅ

1.9K 377 72
                                    

Busan, 2005

Awan berarak pelan, tersapu haluan angin menuju ke arah timur, menutup sebagian matahari hingga pendarnya tak lagi benderang. Park Jimin masih disibukkan dengan tanaman-tanaman miliknya yang hendak dipindah ke dalam pot yang lebih besar. Kelopaknya sesekali mengatup, menahan percikan tanah agar tak masuk ke dalam mata, serta-merta bibirnya yang menggerutu pelan sebab gonggongan Min Holly yang tak henti-henti mengusik rungu. Entah alasan apa yang membuat anjing berbulu cokelat itu terus-menerus mengomel; menyalak. Barangkali kelaparan, sebab sang pemilik yang lupa memberinya makan.

Dasar anjing sialan. Sekali lagi menggonggong, akan kupukul kau sampai mati!

Tatkala hendak mengambil rumpun mawar merah di bawah bingkai jendela, satu gonggongan kembali mengudara, membuat Jimin mendengus keras-keras seraya bangkit membersihkan percikan tanah yang mengotori kaos oblongnya. Kedua netra si Park itu berkilat-kilat menahan amarah, lekas berbalik dan menarik sebilah kayu, kemudian melemparnya ke arah Holly. Sayang beribu sayang, lemparan tersebut meleset.

Seketika Jimin diliputi angkara. "Anjing Sialan. Kemari kau!" teriaknya memecah pagi yang kelabu itu. Sedang yang dipanggil hanya menggerakkan ekor pelan seraya mengitari tempat makan yang kosong.

Merasa diabaikan, Jimin memungut kayu yang sempat meleset tadi dan langsung mendekat ke arah Holly. Tanpa berpikir panjang akan hal macam apa yang terjadi ke depannya, ia mengangkat anjing tesebut di ekor pendeknya. Holly berontak, meliukkan badan agar dapat terlepas dari cengkraman sang teman majikan. Sepersekian detik setelahnya, dua pukulan telak mendarat di tulang punggung Holly. Ia menggonggong keras, dan lebih keras lagi, seiring dengan pukulan yang terus dilancarkan Jimin.

Hingga pukulan ke lima belas, barulah Jimin berhenti. Itu pun berkat Yoongi yang sekonyong-konyong keluar dengan wajah bantalnya. Diam-diam Jimin mendecih, ia sudah paham benar jikalau si Min itu akan mengomelinya.

"Ada apa ri—astaga!" pekiknya dengan kedua mata membeliak lebar. Tungkainya lekas mengambil langkah dan merebut Holly dari tangan Jimin. "Bukankah aku sudah berulang kali mengingatkanmu mengenai apa pun yang dilakukan Holly, jangan sekali-kali kau mengganggunya?"

"Anjingmu itu berisik sekali."

"Dia berisik pasti ada alasan, Jim." Yoongi menatap nanar anjing kesayangannya yang terluka dalam dekapan, lantas melirik ke dalam rumah kecil tepat di bawah pohon beringin dan menemukan piring Holly dalam keadaan kosong melompongan. "Lihat, dia kelaparan. Harusnya kau memberi dia makan agar berhenti menggonggong. Bukan memukulnya hingga seperti ini."

Ya, ya. Terus saja mengomeliku seperti kakek tua yang sakit pinggang.

"Buang kayunya!"

"Tidak mau!"

"Buang, Jimin!"

"Tidak!

Mengangkat salah satu tangan guna mendaratkan satu tamparan di pipi tirus Jimin, nyata Yoongi tidak bisa. Jemari tersebut bergetar saat memikirkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana kalau Jimin semakin murka? Bagaimana kalau Jimin tidak lagi mau berbicara denganku? Bagaimana kalau Jimin pergi meninggalkanku? Well, asumsi-asumsi seperti itulah yang membuat Yoongi menurunkan tangannya kembali lalu menghela napas panjang. Pikirnya, ia tidak boleh termakan ego yang tinggi, masalah apa pun harus diselesaikan dengan cara yang benar supaya tidak menimbulkan masalah lain yang teramat rumit di kemudian hari.

Sejenak, Yoongi memandang Holly yang meringkuk dalam dekapan. Anjing ini teramat berharga baginya, sebab Holly adalah hadiah dari sang ibunda tatkala ia mendapat nilai seratus dalam matematika. Menetralkan napas yang sempat memburu terlilit amarah, Yoongi berkata, "Terserahmu saja kalau begitu. Tapi satu pesanku, jangan pernah memukul Holly lagi."

Enigma, The Shadow [Re-write] | ✔Where stories live. Discover now