17. ᴀʟᴍᴏꜱᴛ, ʙᴜᴛ ꜱᴛɪʟʟ ᴋᴇᴇᴘ ᴛʜᴇ ᴅɪꜱᴛᴀɴᴄᴇ

1.9K 353 44
                                    

Pada dasarnya setiap manusia memiliki ketakutannya tersendiri. Entah itu dari hal yang paling konyol, hingga pada hal yang benar-benar di luar nalar. Akan tetapi di sana, terbangun dengan tubuh bermandikan keringat dingin, Park Jimin sekonyong-konyong sadar bahwa ketakutannya terletak pada seorang wanita bernama Jung Anha. Mimpi yang sempat bertandang di alam bawah sadar membuat pemuda tersebut menarik helai rambutnya dengan kuat.

Tidak, tidak. Anha pasti baik-baik saja. Wanita itu tidak mungkin memikirkannya. Wanita itu tidak akan peduli padanya.

Namun, sekuat apa pun Jimin berusaha meyakinkan diri sendiri, nyatanya dia hanya mampu mengusap sudut mata yang berair. Anhanya menderita; itu yang Jimin lihat dalam potongan mimpi yang didapatnya malam ini. Tubuh ringkih itu menangis di atas ranjang. Bibirnya gemetar menahan gejolak kristal bening yang kembali diproduksi secara besar-besaran.

Dalam hening yang menyeruak di jam dua dini hari, Jimin mengusap wajahnya gusar. Dia bangkit dari ranjang, menuju bingkai jendela yang tampilkan keadaan pekarangan rumah yang gulita. Langit sedang berduka, pendar bulan dan bintang sirna dalam satu kedipan mata. Jimin merenung di sana dengan pikiran jauh terbawa semilir angin yang diam-diam menyelinap melalui ventilasi.

Kenapa hatiku sakit?

Sungguh, rasanya seperti ada ratusan ribu jarum yang menusuk di ulu hati, mengirim sengat yang celakakan sanubari. Jimin ingin menggapai Anha, membiarkan jemarinya merengkuh tubuh tersebut dan mendekapnya erat. Tak ingin melepas sekali pun semesta hancur lebur bersamaan dengan napas yang habis. Namun lagi-lagi Jimin teringat. Dia harus tetap kuat, menjalani peran sebagaimana mestinya, sebab inilah jalan terbaik yang bisa Jimin ambil. Dia tidak ingin Anha terluka, apalagi karena ulahnya sendiri. Tidak. Jimin tidak mau.

Iris Jimin masih menerawang, tepatnya pada pohon beringin yang tersapu angin. Akar serabutnya berayun kesana-kemari, mengikuti melodi yang tengah diarahkan. Sepersekon kemudian, Jimin bisa melihat bayangan hitam yang mengintip di balik batang pohon tersebut. Ya, itu Jack. Entah apa yang dilakukannya di sana. Jimin sendiri tidak tahu. Seingatnya tadi malam ia tertidur cepat karena kelelahan, dan tanpa ia ketahui sosok tersebut berhasil mengambil alih raganya guna melancarkan aksi bejat di salah satu bar.

Jimin berbalik, membiarkan Jack dengan dunianya sendiri. Sejemang, biarkan Jimin untuk tidak menaruh peduli pada sisi gelapnya tersebut. Biarkan. Biarkan saja. Jimin hanyalah manusia biasa, dia bisa jenuh dan lelah dengan keadaan yang betandang silih berganti. Manis dan pahitnya kehidupan telah dicecapnya dengan amat sangat baik. Tidak terlewat barang satu peristiwa pun.

Menjatuhkan bokong di atas ranjang yang timbulkan suara derit kecil, Jimin mendadak ingin menghidupkan ponsel yang telah lama disimpannya di dalam nakas. Rindu yang mendera benar-benar menggerogoti tubuh hingga ke tulang belulang, dan kiranya Jimin sudah tidak bisa menahannya lebih lama. Pun, jemari tersebut terulur ke depan, menarik nakas dan mengeluarkan benda pipih yang memiliki retakan di bagian layar.

Di luar sana gerimis, dan sialnya dalam selang waktu tak sampai lima menit, lampu padam. Sisakan Jimin dengan napas tercekat tatkala ponsel di dalam genggamannya mulai menyala.

Iris Jimin mengerjap pelan. Cahaya terang yang berasal dari ponsel membuatnya agak menyipitkan mata. Wallpaper berupa padang rumput hijau terpampang begitu Jimin menggulir layar tersebut dan membuka galeri foto yang ada. Jimin memang sempat mengotak-atik benda ini, tetapi itu hanya sekadar menelepon atau mengirim pesan. Dia tidak terlalu gemar memotret sesuatu atau dirinya sendiri. Akan tetapi, di saat Jimin jenuh, dia akan mengabadikan Jung Anha tanpa sepengetahuan dari si empu.

Kiranya ada sekitar dua puluh foto dengan Anha sebagai objek utama. Jimin tersenyum kecil seraya mengenang masa-masa di mana ia masih hidup di dalam lingkup atap yang sama. Sebagian besar foto yang diabadikan buram karena Jimin terburu-buru dalam mengambilnya. Kendati demikian, Jimin masih bisa merasakan sensasi indahnya makhluk Tuhan yang satu itu. Bibirnya yang menyunggingkan sebuah senyuman hangat, jemarinya yang mengusap pelan, pula tutur kata halus yang menenangkan.

Enigma, The Shadow [Re-write] | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang