4. ꜱᴛʀᴀɴɢᴇ ꜰᴇᴇʟɪɴɢꜱ

3.4K 664 207
                                    

Suasana pagi itu begitu tenang dengan Park Jimin yang sudah duduk di atas ranjang. Kepalanya sesekali bergerak seiring dengan embusan angin yang menerpa dedaunan di pohon. Jika pada hari-hari sebelumnya Jimin enggan membuka jendela—bahkan menutupnya rapat-rapat dengan tirai yang diturunkan—lain halnya dengan hari ini. Bingkai persegi itu terbuka lebar-lebar, kain biasa dibiarkan menjuntai, pun disingkapnya.

Mega merah di ufuk timur sudah mulai lindap dan tergantikan dengan pendar kekuningan yang merangkak naik secara perlahan ke langit. Jimin memejamkan mata, membiarkan pikirannya kosong untuk beberapa saat sebelum seseorang masuk tanpa mengucap salam, serta-merta membuat pemuda itu mendecak sebal.

"Kenapa kau kemari?" tanya Jimin sembari alisnya yang bertaut tak senang.

"Hanya ingin memastikan bahwa kau masih hidup," guraunya, yang mana hanya ditanggapi Jimin dengan wajah masam. Si Kim itu lekas melanjutkan, "Bercanda, Jim. Tentu aku ingin memeriksa lenganmu yang luka itu. Sekarang, coba singsingkan lengan bajumu sampai siku."

Jimin menurut saja, enggan untuk berbuat aneh-aneh karena ia tahu bahwa itu tak ada gunanya juga.

Membolak-balikkan lengan pemuda di hadapannya, Seokjin mendapati luka itu masih tertutup plester luka. Pun, ia membuka dengan hati-hati, takut Jimin kesakitan karena rambut-rambut halusnya yang barangkali akan ikut tercerabut. "Well, sudah lumayan membaik," ujarnya. Seokjin menelengkan kepala kala melihat ada bekas cakaran yang sepertinya baru saja ditorehkan, namun ia mencoba bersikap tidak tahu menahu sambil melanjutkan, "Kurasa kau tidak perlu menempelkan plester lagi. Biarkan lukanya mengering. Kalau ditutup terus, lukamu akan lambat sembuh."

"Ya, ya, ya."

Seokjin mengeluarkan tawa kecil mendengar respon Jimin yang menurutnya cukup menggemaskan, terlebih melihat bibirnya yang mengerut lucu. Pasiennya yang satu ini memang sedikit membingungkan. Kadang lucu setengah mati—seperti sekarang—dan terkadang malah beringas macam singa yang kelaparan.

Netra Seokjin menyapu isi dari ruangan 13C itu. Masih sama seperti dahulu, pikirnya. Meski tugasnya hanya sebagai dokter yang bertanggung jawab di rumah sakit ini, tapi Seokjin gemar sekali berinteraksi dengan beberapa pasien, seperti misalnya; mengobrol singkat, mengajak bermain, pula membantu para pasien lelaki untuk mandi. Sekarang pun, jemari kurus nan panjang itu malah merapikan sprei milik Jimin yang terpasang tak rapi; menyelipkan kain-kain yang menjuntai bebas ke bawah kasur.

"Dimana dia?"

"Dia siapa?" tanya Seokjin bingung.

"Perawat itu. Anha."

Si Kim itu diam-diam bersyukur. Jarang sekali Jimin bersikap seperti ini. Biasanya, pemuda itu malah enggan diurus oleh beberapa perawat senior yang andal dan memilih untuk melakukan semuanya sendirian. "Dia belum datang. Mungkin sebentar lagi sampai. Tunggu saja, ya?" Namun, dalam detik berikutnya, Seokjin merasakan ada sesuatu yang janggal. Pun, ia bertanya, "Omong-omong, ada hubungan apa kau dengannya? Kulihat akhir-akhir ini kau suka sekali bila Anha menemanimu."

Jimin diam saja.

"Tunggu sebentar, biarkan aku menebaknya." Seokjin meletakkan jari telunjuk di dagu dan mengetuknya pelan beberapa kali; seolah tengah berpikir. Dan, cling ... mendadak Seokjin menjatuhkan rahang. Rasanya ada satu alasan yang paling masuk akal sekarang. "Kau menyukainya, ya?"

Alih-alih menyangkal apa yang baru saja diutarakan Seokjin, Jimin malah balik bertanya, "Apa itu sesuatu yang illegal?"

"Entahlah." Lelaki dengan balutan snelli putih itu mengendikkan bahu, menempatkan dirinya di samping Jimin. Merangkul bahu tersebut sembari menepuknya pelan. "Menyukai seseorang tentu bukan kehendak kita sendiri. Melainkan karena memang takdir yang berkata demikian pada kita. Tapi, perlu kuingatkan terlebih dulu jika kau memang benar menyukai Anha. Kau harus berjuang lebih keras, Jim. Sebab, Anha sudah memiliki kekasih."

Enigma, The Shadow [Re-write] | ✔Where stories live. Discover now