12. ᴛʜᴇ ʀᴇᴀʟ ʜɪᴍ, ᴘꜱʏᴄʜᴏ

2.6K 446 146
                                    

Dengan beberapa lembar pakaian, camilan pengganjal rasa lapar, pula uang hasil curian dari dalam dompet Anha, Jimin mulai menuruni tangga kecil yang menghubungkan antara kereta dan stasiun. Sepasang manik jelaga itu Jimin endarkan hingga ke sudut-sudut sekalipun. Ia ingin meresapi, juga mengingat satu per satu objek yang dapat ia tangkap selagi mampu.

Busan; adalah destinasi Jimin saat ini. Kota kelahiran dengan seribu kenangan. Hiruk-pikuk para penumpang mulai lenyap tatkala tungkai-tungkai berbalut jeans kasual itu memijak aspal yang lembab. Gerimis sempat mengguyur beberapa menit sebelum akhirnya berhenti entah karena sebab apa. Barangkali ada pawang hujan yang tengah menunda atau memang rintik air tersebut tidak ditakdirkan untuk terlalu lama bersua dengan bumi.

Keputusannya saat ini sudah bulat—laiknya bulan yang menggantung cantik di langit malam. Jimin meninggalkan Anha untuk sementara. Alasannya sudah cukup jelas. Jimin takut Jack kembali dan melakukan hal serupa seperti apa yang sempat singgah dalam mimpinya. Apalagi, usai Anha bergegas pergi bekerja, Jimin benar-benar dipertemukan langsung dengan Jack di balik bilik kamar mandi.

Apa aku menang kali ini? Jack menyunggingkan sebuah senyum paling menyebalkan. Retinanya bergerak mengikuti Jimin yang tengah membasuh wajah dengan air keran yang ditampung dalam cekungan tangan; bermaksud mengabaikan. Aku bersungguh-sungguh di dalam mimpi itu, Park. Setiap tindakan yang kau ambil, tentu ada konsekuensi yang harus kau tanggung.

Telinga Jimin panas akan bisik-bisik Jack yang pecah di udara, serta-merta membuatnya lekas menukas, "Apa aku harus pergi terlebih dahulu agar kau berhenti mengusiknya?"

Hm, beri aku waktu untuk berpikir. Jemari hitam bak tercelup ke dalam tinta pena, pula kuku panjang yang menguning itu, lantas mengetuk dagunya pelan; bertindak seolah tengah berpikir keras, kendati Jimin tahu benar bahwa Jack hanya mengulur waktu—bermaksud bermain-main karena menurutnya hal itu menyenangkan. Bagaimana, ya? Sebenarnya aku menginginkan wanita itu. Kau tahu 'kan, aroma darahnya benar-benar manis dan menggiur—

"Jangan. Pernah. Menyentuhnya. Sedikitpun." Setiap padanan kata yang terlontar, Jimin tekan agar mempertegas apa yang ia sampaikan. Memberi peringatan bahwa dirinya bisa saja melakukan hal yang cukup sadis jikalau jiwa gelap setengah sinting itu berani menyentuh Anha barang seinci pun.

Hei, tenang, Park. Aku bahkan belum menyelesaikan perkataanku. Kau itu kenapa hobi sekali menyela, sih? Kemudian Jack tertawa terpingkal-pingkal. Satu tangannya memegang perut, seolah-olah perkataan Jimin tadi yang masuk ke dalam rungu benar-benar mengocok isi perut. Aku memang menginginkannya. Tapi jika kau tidak mau berbagi denganku, maka biarkan aku memberimu sebuah penawaran.

Keran yang masih mengalir lekas Jimin putar kembali agar berhenti mengeluarkan air. Satu alisnya naik setinggi dua ruas jari. Jack mendekat tenang dengan kepala yang ditelengkan ke arah kiri. Pun, bibirnya kembali bersuara, Jadilah Park Jimin yang lugu dan polos. Seperti dahulu. Beri aku banyak makanan lezat dan sayangilah aku sebagaimana kau pernah menganggapku sebagai seorang kakak.

Jadi, setelah tawaran itu dilecutkan dan ia memilih untuk menyanggupinya, Jimin lantas tak punya pilihan apa-apa lagi selain lekas mengepak beberapa barang penting untuk dimasukkan ke dalam tas kulit cokelat yang diperolehnya dari Anha. Wanita itu teramat baik hingga hal-hal semacam ini saja diberikan secara cuma-cuma pada Jimin. Mungkin, jika ia meminta sepasang sepatu dari brand terkenal, barangkali Anha juga mau mengabulkannya.

Sebelum benar-benar pergi, pemuda Park itu sempat menyiapkan makan malam berupa sup ayam, pula sebotol susu sapi yang ditempeli secarik kertas berisi pesan singkatnya untuk Anha. Dengan senyum yang terukir di bibir, iris Jimin bergerak menyisir satu per satu ruangan yang telah menjadi saksi kisah hidupnya selama satu bulan. Cukup mengesankan, terlebih kala mengingat bahwa ada seseorang yang berharga hadir dalam hidupnya.

Enigma, The Shadow [Re-write] | ✔Where stories live. Discover now