ᴀʟʟ ɪ ᴡᴀɴᴛ

2.9K 369 171
                                    

Rindu ...

Jung Anha merindukan Jimin, teramat sangat. Bahkan hanya dengan menyebut namanya dalam diam, wanita tersebut dapat merasakan pedih yang merambat di ulu hati, memberi torehan dalam hingga kedua manik sayunya terkatup rapat; menahan desakan air mata yang terkadang lolos tanpa permisi, tahu-tahu saja meluncur bebas dan buat belah pipinya tergenang. Setahun sudah peristiwa menyakitkan itu berlalu, membawa pergi kenangan yang ada hingga kepalanya nyaris kosong melompong. Anha berdiri tegak, mematung di ambang pintu kamar 13C—kamar yang menjadi saksi banyaknya peristiwa yang telah terjadi.

Ya, ruangan yang membuatnya bertemu dengan pemuda manis bernama Park Jimin.

Kini Anha telah menjalani hidup sebagaimana mestinya; menjadi seorang wanita tangguh yang bekerja di salah satu rumah sakit jiwa, mengurus pasien-pasien dari berbagai kalangan—tua atau muda, miskin atau kaya—dengan kekurangan yang telah digarisbawahi oleh sang Pencipta. Oh, jangan lupakan Jungkook. Pemuda bergigi kelinci itu terlihat jauh lebih sehat, begitu pula suaranya yang mulai memberat.

Berbicara tentang Jungkook, dulunya ia pernah meminta kepada Anha untuk dipertemukan kembali dengan Jimin, katanya dia ingin mengajak kakak kesayangannya itu untuk bermain boneka dan menangkap capung di taman belakang. Akan tetapi, permintaan tersebut tak dapat dipenuhi. Selain karena presensi Jimin yang telah tiada, juga dikarenakan Jungkook yang mendadak mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak mengenal seseorang yang bernama Park Jimin. Well, barangkali penyakitnya kambuh lagi. Bahkan seminggu yang lalu, Jungkook juga mengatakan bahwa ia tidak mengenal Namjoon. Astaga.

Namun, terlepas dari keping memorinya yang terkadang buram dan menghilang, tak pernah sekali pun Jungkook melupakan Anha. Entah bagaimana caranya pemuda tersebut mengingat perawat cantik itu, yang pasti, setiap kali bertemu dengan Anha—baik disengaja ataupun tidak, Jungkook selalu mengulas senyum lebar, menampilkan jejeran giginya yang rapi lantas melangkah mendekat. Si Jeon itu tampak bersemangat sekali, membawa tungkai jenjangnya yang dibungkus sandal jepit sembari melambaikan tangan.

"Anha Noona!" begitu panggilnya.

Jungkook menepuk pelan bahu Anha, menyentak lamunan si wanita yang sempat menggerayangi kepala. Sepasang manik Anha mengedip cepat, kelabakan karena tertangkap basah. "Noona, apa yang kau lihat? Kamarku 'kan bukan di sini, tapi di sebelahnya." Labium Jungkook mengerucut sebal, sementara iris rusanya menangkap troli berisi mangkuk penuh makanan menjijikkan; bubur dengan taburan sayur.

Mengulas senyum setipis kapas, Anha mengusap lembut lengan Jungkook yang berbalut perban. Ya, pemuda itu sempat melukai tangannya, lagi. Membuat guratan luka menggunakan pecahan kaca yang didapatnya dari tempat sampah. Saat ditanya kenapa dia melakukan hal tersebut, Jungkook menjawab kalem, "Dulu, ada Hyung baik yang mengajarkan ini padaku. Katanya ini semacam permainan."

Sesaat, Anha menahan napas. "Bukan apa-apa. Aku hanya ingin melihat keadaan kamar ini sebentar saja."

Kening si pemuda berkerut, lantas mendecakkan lidah sembari bola matanya yang berotasi. "Aku butuh alasan yang lebih masuk akal, Noona! Kau bahkan tidak pernah melewatkan satu hari pun untuk melihatnya. Tiga kali dalam sehari. Duh, seperti jadwal minum obat saja."

Memang, selama satu tahun terakhir ini, Jungkook menyadari akan adanya perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Anha. Wanita elok tersebut kerap menyempatkan diri untuk menatap ruangan tak berpenghuni tepat di samping ruangan miliknya. Bahkan bukan hal yang asing jika Jungkook tahu-tahu saja mendapati Anha menitikkan air mata. Mulanya, ia berpikiran bahwa bisa saja ada debu kecil yang menyumbat netra menawannya, tetapi kini, Jungkook sudah bisa berpikir lebih rasional.

Pasti ada sesuatu di ruangan itu yang membuat Jung Anha larut dalam kesedihan.

Anha terkekeh sumbang, menatap lurus tanpa berkedip. Mulutnya hampir melontarkan satu kejujuran, tetapi lekas urung kala sekelebat wajah Jimin hinggap di dalam benak. Memilih meloloskan satu embus napas berat, Anha berbalik, kembali mendorong troli menuju sayap barat. "Sudahlah, ini bukan waktu yang tepat untuk aku mengungkit sebuah masa lalu."

Enigma, The Shadow [Re-write] | ✔Where stories live. Discover now