18. ʀᴏᴛᴛᴇɴ ᴛᴏ ᴛʜᴇ ᴄᴏʀᴇ

1.8K 359 55
                                    

Park Jimin menghentikan mobil yang dikendarainya di dekat papan reklame yang tertancap di seberang apartemen Anha. Dia mengendap-endap dengan separuh wajah yang ditutupi oleh lengannya sendiri. Jimin menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan Anha dan lelaki genit yang membantunya tadi tidak ada di sana. Sungguh, rasa-rasanya pemuda Park itu murka sekali, apalagi kala melihat senyum dan tawa Anha terbit bukan kerena ulahnya. Jikalau memang ada waktu dan kesempatan, Jimin pastikan bahwa lelaki tadi akan mencium salah satu kepalan tangannya. Ha! Lihat saja nanti.

Jalan raya pagi itu cukup padat akan lalu lalang kendaraan bermotor, asapnya penuhi udara dan usik penghidu. Akan tetapi, hal tersebut tentunya bukan menjadi penghalang Jimin untuk mencari keberadaan Anha. Si Park itu berjalan pelan sembari menatap sekitar dengan awas. Menurut perhitungannya (yang mana bisa keliru, tapi berdoa saja semoga benar), Anha pasti sudah sampai di apartemen ini sejak lima menit yang lalu. Ya. Setelah memutar-mutari jalanan tanpa tujuan yang pasti, Jimin memilih untuk menuju apartemen si puan.

Bak orang intel yang andal, Jimin melekatkan punggungnya di dinding basement. Kakinya bergerak perlahan, menyelinap di antara mobil-mobil yang terparkir. Tangannya sesekali mengusap hidung yang gatal, menahan bersin sekuat tenaga sebab ia tahu hal tersebut hanya akan mengacaukan rencananya.

Sepasang iris jelaga Jimin menilik ke arah langit-langit, coba menghitung berapa banyak kamera pengawas yang tengah beroperasi. Dia coba memikirkan cara agar figurnya tak terekam. Well, Jimin memang tidak bermaksud jahat seperti hendak membobol salah satu unit apartemen atau mobil mewah yang terparkir, dia hanya ingin menemui Anha. Itu saja. Namun, memangnya siapa yang tidak curiga dengan Jimin jika gelagatnya saja sudah seperti pencuri kelas kakap yang membawa senapan di balik punggung?

Jimin melangkah menuju blind spot. Bersandar di dinding sebentar sebelum kembali melanjutkan aksinya. Kemudian, setelah masuk lebih dalam, barulah Jimin bisa melihat presensi Anha yang berdiri di samping sedan hitam beserta lelaki genit tadi. Tanpa sadar kedua tangan Jimin mengepal. Jemari si berengsek itu bergerak menelusupkan beberapa helai rambut wanitanya ke belakang telinga. Ugh, Jimin pastikan lelaki itu akan masuk ke dalam daftar merahnya.

"Oh, astaga. Kalau kau sedang kerepotan, telepon saja aku. Tidak usah sungkan-sungkan."

Jimin menyipitkan mata. Meneliti tiap detail yang ada pada si lelaki; rambutnya klimis, kemeja hitamnya dimasukkan ke dalam celana bahan yang senada, oh, jangan lupakan ikat pinggang dan sepasang pantofel yang mengkilat itu. Pada akhirnya Jimin mendapat satu kesimpulan bahwa lelaki itu barangkali adalah pegawai kantoran.

"Eiy, mana bisa begitu. Kau 'kan harus bekerja juga."

Lawan bicaranya tergelak, lalu mulai menyodorkan satu per satu kantong plastik belanjaan kepada Anha. "Kau ini seperti baru mengenalku saja, An. Kau bahkan sudah kuanggap sebagai adik perempuanku sendiri, tahu."

Terkekeh pelan, Anha menerima uluran tersebut dan menempatkannya di dekat kaki terlebih dahulu. Anha masih ingin berbincang dengan si lelaki, dan jika dia tetap menenteng kantong tersebut, bisa-bisa seluruh jemarinya kram dan mati rasa. "Woah, adik? Kau serius?"

"Tentu," jawabnya cepat.

Anha masih tertawa-tawa, dia pikir lawan bicaranya ini memang terbaik dalam hal ekspresi wajah. Lihat saja sekarang. Lelaki itu tengah mengendikkan bahu dan menatapnya seolah-olah dia adalah pria tertampan sedunia. Pun, Anha membalas dengan nada jenaka, "Kalau begitu ... Hoseok Oppa?"

Lelaki bernama Hoseok itu mengacungkan satu jempol ke hadapan Anha, mengangguk pelan seakan dia sangat puas dengan sebutan yang baru saja didengar. "Nah, bagus sekali. Kedepannya tetap panggil aku seperti itu, ya? Oke?"

Tidak. Nama itu keramat, An. Kau tidak boleh menyebutnya. Aku bersumpah akan me

"Oke, Hoseok Oppa."

Enigma, The Shadow [Re-write] | ✔Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon