Part 1 : Holiday

79 11 11
                                    


CHAPTER I

NO VICTORY WITHOUT BLOOD

"Yak! Itu yang terakhir!" Felix berseru puas setelah meletakkan koper terakhir ke dalam bagasi.

"Mom, aku berangkat dulu, yah!"

"Hati-hati di jalan!"

Felix masuk ke kursi penumpang. Gray, temannya yang mengemudikan mobil, menekan pedal dan mobil itu pun melaju.

"Bagaimana? Kamu sudah memastikan villanya, kan?" tanya Felix pada Scott yang duduk di sebelahnya.

"Sudah. Villanya sudah kupesan untuk satu minggu ini. Lengkap dengan fasilitasnya," jawab Scott. Dia merupakan lelaki paling kaya di grup mereka. Wajar jika dia mentraktir mereka menginap beserta segala fasilitasnya.

"Ada kolam renangnya, kan?" tanya Ivy, gadis paling cerewet sesekolah yang saat ini duduk di samping Scott.

Scott mengangguk.

"Wi-fi?" Lagi-lagi Scott mengangguk.

"Sekulkas penuh bir?" Scott mengangguk lagi.

Ivy menjerit senang, mengganggu Rory, gadis paling pendiam sesekolah, yang sedang mendengarkan musik.

"Ini bakalan menjadi liburan terbaik!" Ivy berseru keras. "Satu minggu tanpa orangtua, bersenang-senang tanpa ada orang dewasa cerewet yang menghalangi!"

Rory mendengus, sebal dengan kelakuan Ivy yang super cerewet.

Gadis berambut coklat itu mengeraskan iPhone-nya, berusaha mengabaikan Ivy yang mulai bicara panjang lebar tentang rencananya di villa nanti. Sebenarnya, gadis berambut coklat tidak ingin ikut berlibur bersama-sama. Kalau bukan karena Felix yang mengajaknya, dia pasti sedang berada di perpustakaan umum saat ini, membaca buku entah apa. Tapi, mau bagaimana lagi? Felix adalah temannya sejak kecil. Masa', permintaan teman sejak kecil diabaikan? Lagipula, tidak masalah dia ada di mana pun. Selama, ada koneksi internet, dia oke saja. Selain itu, ada alasan lain yang menyebabkannya saat ini berada di kursi sebelah pengemudi dalam perjalanan menuju villa entah dimana. Alasan yang tidak ingin ia kemukakan kepada teman-temannya.

Rory memalingkan pandangannya keluar jendela. Mata birunya meredup ketika dia teringat kejadian enam tahun yang lalu. Tanpa sadar, tangan kirinya menggenggam liontin berbentuk bulan sabit yang menggantung di lehernya.

Tersenyum redup, Rory melamun, memikirkan rencananya.

***

"Akhirnya!" Ivy berseru senang dan menghempaskan tubuhnya di kasur, meregangkannya. Setelah perjalanan selama lima jam non-stop, gadis itu merasa sangat lelah. Rory yang satu kamar dengannya duduk di kasur, matanya lekat dengan video Youtube yang sedang ditontonnya.

Villa yang mereka tempati berada di atas bukit. Seperti kata Scott, villa dengan dua lantai itu memiliki fasilitas yang terbilang lengkap. Selain tiga kamar tidur dengan spring bed king-size dan kamar mandi pribadi, villa itu juga memiliki halaman belakang yang luas. Halaman itulah yang malam ini rencananya akan digunakan untuk party.

Felix duduk resah, tidak sabar menanti malam tiba. Lelaki itu memang gemar mengikuti hal-hal yang berbau party (dan alkohol tentunya). Di kotanya, hampir setiap malam minggu dia pergi clubbing.

Sementara itu, Gray tertidur pulas di kamar. Scott yang seorang gamer langsung membuka laptop ROG Strix-nya di kamarnya sendiri di lantai bawah.

Felix membuka akun Facebook-nya dan meng-upload gambar-gambar villa beserta sebaris kalimat,

'One week without parents xD '

Ini akan menjadi liburan yang menyenangkan.

***

"Cheers!"

Musik rock menghentak keras dari sound system di halaman belakang. Malam itu, mereka berpesta-ria. Gelas-gelas berisi minuman diedarkan. Tawa terdengar bersahutan. Penghuni villa sebelah yang melihat keramaian juga ikut bergabung. Kegelapan malam seolah tidak mampu mengalahkan gelombang ekstasi yang mereka alami.

Hanya saja, ada satu orang yang tidak ikut.

Rory.

Gadis itu memilih untuk tetap di kamar. Teman-temannya sudah membujuknya, tetapi gadis itu bergeming. Akhirnya, mereka menyerah dan membiarkannya berada di kamar. Mereka bisa memahami sifat Rory yang anti-crowd.

Sebenarnya, Rory berniat untuk pergi. Rencana yang ia sembunyikan dari teman-temannya. Ketika mendengar lokasi villa, ia langsung teringat akan hal itu.

Tanpa sadar, sebutir air mata menetes. Gadis itu mengusapnya perlahan. Rory meraih ransel hitamnya. Di dalamnya terdapat semua yang dia perlukan. Dia menyentuh liontin di lehernya, memastikannya terkalung di sana. Dia meraih jaketnya dan mengenakannya. Gadis itu menutup tudung kepalanya, menutupi rambut coklatnya yang tergerai. Dia keluar kamar dan menutup pintu seperti semula. Rory berpikir hendak pamit, tapi dia mengurungkannya.

Semakin sedikit yang tahu, semakin baik.

Tanpa suara, Rory menyelinap keluar, meninggalkan teman-temannya berpesta.

Rory menghirup dalam-dalam udara malam. Dingin menusuk tulang walau dia telah memakai jaket tebal. Tapi, tekadnya telah bulat. Dia mulai berlari, mengikuti jalur yang telah dia hafal sejak lama walau samar-samar. Setelah lima belas menit, melewati jalan yang sepi, Rory tiba di tujuannya. Menguatkan dirinya, Rory menapakkan kakinya di jalan batu, melewati papan penunjuk jalan bertuliskan,

'Ash Town' 

Down To Ash(HIATUS)Where stories live. Discover now