Part 18 : Finally Breathing

12 3 0
                                    

Rory mengerjapkan matanya.

Perlahan, gadis itu mendudukkan dirinya.

Dimana ini?

Gadis itu duduk berselonjor di atas kasur keras di dalam sebuah ruangan luas berdinding kayu kasar. Tiga buah kasur lainnya terletak serampangan. Beberapa ransel digeletakkan begitu saja di sudut ruangan. Tidak ada jendela. Hanya ada bola api kecil yang mengambang tepat di bawah atap yang menjadi penerangan.

Rory melirik jam tangan pemberian Helix.

Pukul tiga ... entah sore atau pagi buta.

Ingatannya berkelebat.

Pagi tadi, setelah menunggu selama nyaris satu jam, serombongan karavan Pedagang akhirnya melewati pelataran Portal. Helix berbicara sesaat dan mereka pun diizinkan menumpang sampai kota ini. Beberapa jam perjalanan dan siang ini mereka sampai di Kota Vichro. Dengan uang pas-pasan, Helix berhasil menyewa dua kamar murah nyaris layak yang saat ini salah satunya ditempati oleh Rory. Begitu dia masuk, gadis itu langsung tertidur kelelahan.

Rory memegangi perutnya. Lambungnya terasa melilit. Gadis itu baru saja hendak berdiri ketika pintu terbuka.

Mata biru keduanya bertemu.

Felix tertegun di ambang pintu. Selama sesaat, dia terlihat ragu untuk masuk. Tapi, pada akhirnya, dia memutuskan untuk melangkah ke dalam.

"Aku bawa makanan," ucap Felix seraya menyodorkan sesuatu yang terbungkus daun berwarna coklat tua entah-apa-itu. "Kau pasti lapar."

Tanpa bicara, Rory meraih bungkusan itu. Ketika membukanya, aroma daging bakar tercium kuat. Tanpa suara, gadis itu memakan daging bakar entah-apa itu. Matanya menatap makanannya kosong.

Tidak lama, Rory menghabiskannya. Pelepah daun yang tersisa dibuang sembarangan. Rory menengadah, matanya kembali bertemu pupil biru Felix. Luapan perasaan bergolak tak tertahankan. Seketika, gadis itu membuang pandangannya.

Felix menghela nafas. Lelaki itu merasakan kehadirannya hanya akan mengganggu Rory—dan itu adalah hal terakhir yang diinginkannya. Ia memutuskan untuk meninggalkan Rory sendiri.

Mungkin dengan begitu ia akan merasa lebih baik.

Felix hendak melangkah keluar, tapi gerakannya terhenti oleh suara Rory.

"Felix?"

Felix terdiam, tidak jadi melangkah. Wajah Rory tidak memandangnya, tapi panggilan itu jelas ditujukan pada lelaki itu.

"Apakah ... apakah benar kamu dan Gray mencari-cariku?"

"Ya." Rory tertunduk dalam mendengar jawaban singkat itu.

"Mengapa? Mengapa kau mencariku?"

Felix mendesah. Dia beringsut duduk di samping Rory, merasa pembicaraan ini akan cukup lama. Rory cepat-cepat membuang pandangannya.

"Memangnya kenapa?" Felix balik bertanya. "Tidak penting alasanku selama aku di sini bersamamu."

Pipi Rory memerah mendengarnya. Perasaannya bercampur-aduk.

"Kau merasa bersalah menjadikan kita sama-sama terjebak di dimensi ini?"

Rory menunduk, matanya berlinang air mata.

"Rory," Felix melingkarkan lengan kokohnya di pundak kecil gadis itu, "kau tidak mungkin berpikir kami akan meninggalkanmu, bukan? Dengan semua yang kita lalui, kau pasti tahu bagaimanapun kami tetap akan mencarimu walau ke ujung dunia sekalipun. Teman tidak meninggalkan teman. Tidak mengapa kita pada akhirnya terjebak di sini selama kau bisa kami temukan, dan, semoga, membawamu keluar."

Down To Ash(HIATUS)Where stories live. Discover now