Part 8 : A Journey Start

14 3 2
                                    


"Hoaamm..." Rory menguap bosan.

Sudah tiga jam mereka mengendarai hirg—semacam kuda tapi bersisik hijau seperti buaya dan dua kali lebih cepat—tanpa berhenti. Dengan kecepatan ini, masih butuh dua jam agar mereka sampai di tujuan mereka.

"Sabar saja, Rory," kata Helix sambil nyengir. Memang, duduk di atas hirg yang melaju cepat, walau stabil, tetap menegangkan bagi yang belum biasa. Bagi yang biasa, malah membosankan.

"Apa kita nggak bisa beristirahat? Pantatku terasa kebas," pinta Rory.

Helix hanya nyengir.

Setelah sedikit masalah dengan Ram, akhirnya mereka diperbolehkan untuk pergi. Karena masalahnya berhubungan dengan Lord Cyprus, ditambah janji Fex mampu menyelesaikan pekerjaan walau tanpa mereka (yang dia ambil dengan muka tertekuk), Ram yang keras kepala itu bisa melunak. Mereka langsung menyewa hirg, tiga hirg lebih tepatnya. Setiap hirg ditungganggi oleh dua orang. Helix dengan Lyca, Eon dengan Sombre (Helix mendapati kejahilan Sombre bisa ditekan dengan adanya Eon), dan Rory bersama Reo. Eon menolak untuk terbang karena kecepatannya belum mampu menyamai kecepatan hirg.

Jadilah, enam orang, tiga bangsa, menaiki hirg dalam perjalan menuju ibukota. Tetapi, dikarenakan masalah jarak, Helix memutuskan untuk berhenti terlebih dahulu di Kota Shahrezan, dua jam dari tempat mereka berada.

Tapi, kelihatannya mereka harus beristirahat dulu.

"Helix," keluh Rory, "bisakah kita istirahat dulu? Sudah tiga jam kita hanya duduk."

"Benar," Reo menimpali. "Kita tidak bisa duduk terus selama ini."

Yang lain ikut menimpali dengan kalimat mereka sendiri-sendiri.

"Oke, oke." Akhirnya, Helix mengalah. "Kita berhenti di sini."

Dengan segera, mereka menghentikan hirg mereka di tengah padang rumput. Rory langsung turun dan merebahkan punggungnya seraya mendesah lega. Reo, Lyca, dan Sombre meraih ikan bakar dari ransel dan duduk serta menikmatinya. Eon lebih memilih untuk meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Helix hanya duduk, diam. Sementara mereka mengambil istirahat, mereka membiarkan hirg mereka mencari makan di padang rumput yang luas ini.

"Hmmm..." Rory mendengung pelan, menikmati angin yang berhembus pelan, membelai lembut rambutnya.

"Jadi," tiba-tiba Lyca bertanya, "bagaimana kau di dunia ini sejauh ini?"

"Hmm?" Rory balik bertanya, tidak memperhatikan pertanyaan Lyca.

"Aku bertanya, bagaimana kau beradaptasi sejauh ini?"

"Hmm, biasa saja. Hanya, ada beberapa hal yang berbeda, sih," Rory menjawab asal-asalan.

"Ah, kamu ini..."

Rory hanya tertawa kecil.

Keheningan menerpa. Hanya angin yang berhembus dan kicauan burung yang terdengar.

Untuk sesaat, Rory merasakan, betapa indahnya alam ini. Selama ini, dia jarang keluar rumah. Hanya saat ke sekolah dan jika ada kegiatan penting. Dia belum pernah merasakan sesuatu yang seperti ini. Setidaknya, setelah kematian ayahnya. Semua terasa hampa. Tidak ada satupun temannya yang mampu menghilangkan rasa sedih dari hatinya. Itu sudah lama. Rasa sedihnya sudah menghilang, meninggalkan hati yang kosong.

Saat pertama bertemu Helix, dia tidak menyangka mereka akan berteman. Gaya Helix yang fleksibel, juga candaan Lyca, entah bagaimana, pada akhirnya mampu meruntuhkan benteng yang selama ini berada di hatinya. Entahlah. Mungkin, puing-puingnya masih tersisa. Atau, ada yang terlupa? Who knows?

"Ayo! Bangkit!" seruan Helix memecah suasana yang indah itu. "Kita lanjutkan perjalanan."

Semuanya mengeluh. Masa' baru istirahat sebentar langsung disuruh lanjut lagi?

"AYOOO!!" teriakan Helix pada akhirnya berhasil membuat mereka takut-takut bangkit dan menaiki hirg mereka, kembali berjalan.

***

"Sialan!" Felix meninju puing di dekatnya hingga tangannya terasa sakit. Tapi, dia menghiraukannya.

"Aku minta maaf, Felix. Tapi, dia memang sudah menghilang." Gray mendekati Felix, berusaha menenankannya.

Felix tidak mendengarkan. Dia kembali meninju puing terdekat. Darah keluar dari bagian tangannya yang robek.

Cowok itu tidak dapat menerima kenyataan bahwa Rory telah menghilang. Mereka telah mencarinya selama tiga jam lebih, tapi, yang mereka temukan hanyalah ransel Rory dan karangan bunga yang masih segar di dekatnya, bukti bahwa Rory baru saja berada di sana.

Gray menepuk pundak Felix. "Aku akan menghubungi polisi. Mereka akan mencari cewek itu hingga ketemu." Gray terdiam sesaat sebelum menambahkan, "Aku yakin dia masih ada di luar sana. Dia cewek yang kuat."

Felix hanya diam. Nafasnya memburu.

Gray menjauh dari Felix. Meraih smartphone­-nya, dia mengetikkan nomor darurat dan menekan call. Selama beberapa saat, dia menjelaskan keadaan di sana. Lalu, dia menutup panggilan. Dia berpikir hendak mengubungi ayahnya. Dia adalah seorang detektif swasta yang lumayan terkenal. Dia yakin, ayahnya mampu membantunya. Gray mengetikkan nomor ayahnya.

Lima detik, panggilan diangkat.

"Halo, Ayah," sapa Gray, berusaha terlihat seriang mungkin.

"Gray, anakku! Bagaimana liburanmu? Menyenangkan?"

"Biasa saja. Ini masih kalah dari liburan di Hawaii tahun lalu."

Ayah Gray tertawa. "Ada apa kau menghubungiku? Ada masalah?"

Gray menarik nafas, mengumpulkan keberanian. "Ayah tahu Rory, temanku?"

"Oh, Rory Silve? Anak Miss Daisy itu? Ada apa dengannya?"

"Dia... menghilang."

"APA!?" Reaksi ayahnya mengejutkan Gray. "Dia menghilang!? Kau tidak—" Ayahnya terdiam. Selama beberapa saat, dia tidak berbicara. "Aku akan segera ke sana."

Panggilan ditutup.

Gray diam. Smartphone­-nya masih di tangannya. Dia menoleh, melihat Felix yang terlihat sangat menyedihkan. Seorang lelaki yang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

Aku akan menemukan Rory, Felix, batin Gray. Aku janji akan menemukan Rory, walau dia berada di dimensi lain.

Yang, hampir sepenuhnya benar.

———

10 Mei 2018

Pendek, yha? Hehehehe. Maaf. Creator-nya lagi males nih. Mana besok balik ke pondok lagi. Jadi, kalo kependekan, maafin yha.

XD

-DheatlyBlaze

Down To Ash(HIATUS)Where stories live. Discover now