Part 16 : Meet Up

14 3 3
                                    

Kicauan burung yang bersahut-sahutan membangunkan gadis itu.

Dia terdiam. Masih mendekap lututnya seperti semalam. Bekas air mata terlihat jelas di kedua pipinya. Dia hanya mampu menunduk, menyelipkan kepalanya di balik perlindungan lututnya, menatap kosong.

Semua yang terjadi kemarin seolah tidak masuk akal. Rekaman yang terus menerus berputar di otaknya seolah hanya imajinasi belaka. Tapi, apa daya, dia tidak mampu melawan kenyataan.

Ayah ... Aku tidak lagi mengenal dirimu.

Rory menunduk semakin dalam, menenggelamkan dirinya dalam kesedihan.

Memori bersama ayahnya yang telah buram kembali muncul, keluar dari sudut otaknya yang berdebu. Ayahnya yang lembut, yang selalu mengelus pucuk kepalanya, yang selalu berucap pelan tiap kali berbicara dengannya. Sosok yang tidak pernah terlihat marah walau ditekan begitu kerasnya.

Apa yang telah terjadi padamu, Ayah?

Tanpa sadar, Rory terisak. Gadis itu hanya mampu mengeratkan pelukannya, tidak memiliki siapa pun.

Apakah tempat terkutuk ini yang telah mengubahmu sedemikian rupa, Ayah?

Sebersit ide itu cukup untuk memantik rasa benci di hatinya. Rahangnya mengeras.

Seandainya tempat terkutuk ini tidak ada ... mungkin saat ini Ayah masih bersamaku dan Ibu.

Buliran air mata mengalir. Amarah bercampur kesedihan meluap memenuhi rongga dadanya.

Dan sekarang aku terjebak di sini dengan orang-orang yang bahkan baru kukenal, yang entah bagaimana justru aku memercayai mereka.

Tidak pernah sekali pun Rory berpikiran pendek seumur hidupnya. Tidak ketika Felix keluar malam-malam, tidak pula ketika Gray menghilang berhari-hari. Tapi, sekarang, semua yang dia inginkan hanyalah sesuatu untuk disalahkan. Dia hanya ingin melupakan semuanya dan menikmati perasaan ini.

Entah berapa lama dia dalam posisi itu. Kakinya terasa kebas, tapi ia mengabaikannya. Air matanya telah habis.

Satu-satunya yang menyadarkannya adalah seruan Lyca.

"Siapa kalian?!"

Refleks, Rory menengadah.

***

Sial, rutuk Helix. Minggu ini benar-benar penuh kesialan.

Tadi pagi, dia bangun sesaat sebelum fajar menyingsing. Setelah merenggangkan tubuhnya sedikit, gadis itu memutuskan untuk pergi berburu sekaligus melatih ototnya yang sudah cukup sembuh. Bajunya yang robek di sana-sini bekas pertempuran dengan ayah Rory tidak ia hiraukan. Lagipula, ia bisa membelinya kapan-kapan.

Lupakan masalah pakaian. Yang lebih penting adalah apa yang terjadi setelahnya.

Aku hanya pergi sebentar untuk berburu. Hanya berburu! Kenapa nasib benar-benar kejam padaku?!

Dia hanya beberapa ratus meter meninggalkan pelataran Portal ketika mendadak, sebentuk besi diingin menyentuh pelipisnya.

Kini, dia berdiri dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi, busurnya tergeletak di tanah sementara seorang lelaki bermata abu-abu menodongkan senjata apapun itu ke kepalanya.

Sialan, rutuknya.

"Jangan bergerak," perintah si Mata Abu-abu untuk kesekian kalinya.

Aku dari tadi tidak bergerak, bodoh.

Seorang lelaki lain muncul dari pepohonan dan berjalan dengan hati-hati ke arahnya. Lelaki bermata biru itu berhenti empat meter di depan Helix, mengacungkan semacam pisau dengan model yang belum pernah dilihatnya. Ekspresinya terlihat mengancam bercampur takut. Ditilik dari pakaiannya, Helix segera tahu bahwa mereka berasal dari Dunia Luar.

Down To Ash(HIATUS)Where stories live. Discover now