Chapter 2

4.2K 562 94
                                    

"Kau tidak menjawab teleponku," ucap sebuah suara di suatu kafe bernuansa coklat.

Bangunan bermassa dominasi balok itu cukup lenggang di jam yang lumayan sibuk dimana orang biasanya mampir untuk membeli satu cup kopi sebelum memulai kesibukan di kantor atau universitas. Hanya ada beberapa pelanggan yang duduk santai di kursi bundar tinggi atau sofa hitam yang berada di sudut-sudut kafe.

"Hmm, aku meninggalkan ponselku di studio," pemuda bersurai coklat pirang itu menjawab sambil mengetuk-ketukan sepatu botnya di lantai kayu.

Pemuda berambut hitam yang duduk menghadapnya memandang skeptis. Manusia di depannya ini terkenal sangat hati-hati dan teliti, meninggalkan ponselnya di studio hampir sama dengan meninggalkan nyawanya di rumah. Ia menepis keingintahuannya dengan meneguk secangkir espresso. Rasa pahit yang menjalar di lidahnya membuatnya meringis.

"Sudah tahu minuman itu pahit kenapa masih selalu memesannya?" tanya laki-laki yang berperawakan lebih kecil dengan geli.

"Tidak selalu, kok."

"Keras kepala seperti biasa, Lee Jeno," dia menyahut datar.

"Datar seperti biasanya, Huang," balasnya enteng.

Renjun mendengus. Walaupun ia tidak tersinggung sama sekali, sudah kebiasaan. Ia menggerakan jari-jarinya mengitari bibir mug putih berisi kopi yang asapnya mengepul. Tidak ada gunanya menanggapi Jeno, pria itu tidak mau kalah.

"Jadi, ada apa kau memintaku kemari?" Renjuj membuka topik sesungguhnya setelah membiarkan keheningan nyaman mampir beberapa menit.

"Well, aku memang sering memintamu datang ke tempat ini kan," Jeno tersenyum jahil.

"Lee."

"Astaga iya, iya. Dasar kau ini, santai sedikit tidak akan membunuhmu," Jeno terkekeh sambil memutar bola matanya, terhibur. Tangannya lalu mengaduk-aduk tas hitam kulit yang menemaninya untuk mengambil sebuah benda persegi berwarna hitam yang tampak elegan.

"Aku ingin memberikan ini," Jeno berujar dengan senyum tipis di wajahnya.

Renjun meneliti benda yang disodorkan padanya dari sebrang meja. Matanya menyusuri permukaan kertas hitam yang dibubuhi ornamen floral yang mirip seperti sepuhan emas. Sangat indah. Renjun harus mengakui hal tersebut walaupun jantungnya berdenyut janggal melihat dua ukiran spesifik yang tertera di halaman depan. Walaupun begitu ia tidak dapat menahan senyum yang terkembang di wajahnya.

Jeno terdiam menelaah raut Renjun, keningnya mengernyit menatap kasa putih di sudut pelipisnya.

"Ada apa dengan pelipismu?"

Renjun hanya mengulas senyum dan mengedikkan bahu.

π

"Siapa yang melakukan ini padamu?"

Renjun menghela nafas entah untuk keberapa kalinya sejak sepuluh menit yang lalu. Ia mendongak menatap laki-laki bersurai coklat madu yang kini menatapnya tajam sambil menyilangkan tangan di depan dada, mengabaikan sejenak layar komputer yang memanggil-manggil perhatiannya pada jendela Adobe Illustrator yang masih terbuka.

"Harus kubilang berapa kali? Aku--"

"--terantuk lemari penyimpanan cat, ya, ya, terserah. Kau pikir aku bodoh ya?"

"Well, kadang-kadang iya," gumam Renjun asal.

"Aku sedang tidak bercanda, Renjun."

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now