Chapter 19

2.5K 362 98
                                    

"Ngapain kau di situ? Kesurupan ya?"

Sicheng menegur sosok pemuda yang termangu mengadap pintu lipat yang terbuka ke taman. Jarum jam sudah menunjuk pukul sebelas malam, ia tidak menduga akan menemukan sepupunya dalam keadaan mengenaskan saat ia hendak mengambil air di dapur. Orang waras mana yang duduk di sofa menghadap pintu yang dibiarkan terbuka di bulan Januari?

Renjun mendelik sinis pada Sicheng sekilas sebelum beranjak menutup pintu. Setelah dipikir-pikir, membiarkan dirinya terpapar udara dingin juga bukan hal yang bagus. Ia menatap Sicheng sekali lagi, cukup lama dengan raut wajah menimang-nimang, tapi ia tidak berkata apapun sebelum berbalik memunggungi Sicheng dan berlalu ke kamar.

Melihat tingkahnya yang aneh membuat Sicheng mengernyitkan alisnya. Biasanya Renjun akan balas berkata pedas padanya atau paling tidak melempar benda terdekat ke arahnya. Respon Renjun barusan jelas di luar ekspektasinya.

π

"Oi."

Mendengar suara rendah di ambang pintu kamar membuat Renjun melempar ujung selimut menutupi kepala dengan gerakan kasar. Matanya ia pejamkan seerat mungkin sembari merapal doa agar Sicheng pergi jauh-jauh dari sarang pribadinya. Melihat kekeraskepalaan Renjun, Sicheng hanya berdecak malas sebelum melangkah masuk tanpa diundang.

"Geser sedikit, jangan serakah," dengan santai Sicheng menyibak selimut bergambar Moomin dan mendorong Renjun ke pinggir kasur―Renjun nyaris mengumpat karena perlakuan semena-mena Sicheng nyaris membuat jidatnya membentur dinding.

"Gege, berhenti menginvasi kamar orang dan kembali ke kamarmu." Renjun merutuk sambil berusaha membenahi selimut yang kini terpaksa dibagi dua dengan Sicheng.

"Jangan banyak gaya. Kau nggak protes waktu Mark menyelinap ke sini berkali-kali."

Jantung Renjun mencelos mendengar nama laki-laki yang lebih tua beberapa tahun darinya itu. "Itu hanya terjadi sekali."

Renjun bukannya membenci Sicheng―sungguh. Dia merasa bersyukur mempunyai figur kakak yang membimbingnya di negara asing pada tahun-tahun pertamanya di Korea, saat kosakata yang dikuasainya hanya cukup untuk memperkenalkan diri.

Dia sendiri tidak yakin kapan hubungannya mulai sedikit canggung. Mungkin karena sudah lama ia tidak berbicara berdua saja dengan Sicheng―kebanyakan pembicaraan mereka berakhir dengan pertengkaran. Atau mungkin itu semua berawal dari Renjun yang menjaga jarak dari laki-laki jangkung itu karena sikapnya yang lebih sering terlalu protektif.

Jadi mendapati dirinya berbaring dengan jarak kurang dari satu kaki seperti ini rasanya sangat aneh dan canggung. Dia tidak tahu apa motivasi Sicheng tiba-tiba bersikap seperti ini, sementara pikirannya yang lain sibuk menyaring kosa kata yang tidak akan menimbulkan peperangan verbal di tengah malam.

"Hei, dengar―aku hanya akan mengucapkannya sekali ini." lamunan Renjun dibuyarkan oleh suara Sicheng dari samping. Ia melirik dari sudut mata, mendapati Sicheng masih menatap lurus ke depan. Apa dia benar-benar berbicara padanya atau pada tembok?

"Mungkin aku bersikap keterlaluan selama ini tapi mengingat apa yang terjadi denganmu dan Jeno, kau tidak bisa mengharapkanku bersikap biasa saja saat ada orang yang mendekatimu."

Kenapa Scheng memutuskan untuk menyeret-nyeret nama Jeno, Renjun tidak tahu. Tapi kini telinganya sepenuhnya terbuka dan terfokus pada tiap kata yang hendak dikeluarkan Sicheng. Apapun.

"Itu disebut insting seorang kakak, tahu? Kau mungkin tidak melihatnya tapi aku bisa membedakan mana yang hanya ingin berteman dan mana yang punya niat lebih―orang lain juga pasti melihatnya, kau saja yang mendadak buta."

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now