Chapter 15

2.5K 400 139
                                    

Spesial untuk: bakpaosehun

Tahun baru terasa hambar sementara sepasang manik amber itu menatap kerlipan bunga-bunga api yang menghiasi langit malam Seoul. Di balkon kamarnya, percikan warna-warni itu terlihat seperti gugusan dandelion yang banyak tumbuh di bukit belakang rumah pamannya di Vancouver.

Di bawah sana, di lantai dansa, keluarga besarnya tengah membagi kehangatan di tengah dinginnya angin tahun baru. Ia seharusnya masih berada di sana. Bukannya berdiri layaknya patung dengan setelan tuxedo yang dasinya sudah mengendur dan kemeja yang kancing teratasnya tidak rapi lagi. Berani taruhan, Kakek Lee akan memakinya habis-habisan. Syukur-syukur ia tidak ikut mengayunkan ujung tongkat berjalannya pada kepala Mark.

Walau dalam hati, Mark tahu saat ini Kakek Lee tengah mengerahkan pengawal pribadinya untuk menyisir mansion ini—beserta, kalau orang ini gagal bersembunyi, sepupunya Jaehyun. Mark tersenyum sinis. Bukannya pengawal itu tidak becus untuk sekedar menyeretnya balik. Tapi Mark tahu benar pengawal-pengawal itu tidak bisa melakukan apapun pada detik dimana mereka melangkahi pintu mahoni yang membatasi kamar Mark dan selasar.

“Kau benar-benar tidak mau turun, hyung?”

Mereka sudah di depan pintu. Adalah kata-kata yang tidak pemuda bersurai coklat itu katakan. Karena toh, Mark juga sudah tahu.

“Tidak.”

Seseorang itu mendengus, punggungnya ia rebahkan dengan kasar di atas selimut halus di bawahnya. “Kau itu suka sekali cari gara-gara ya.”

Mark tertawa kecil mendengar gerutuan nasal itu. Ia memutar tubuhnya perlahan. Sesuatu dalam matanya mengeras saat meneliti rupa seseorang yang berbaring di kasurnya.

“Bagaimana denganmu? Bukankah yang kau lakukan sama saja?”

“Apa?” ia meneleng. Cahaya lampu menimpa matanya membuat binar bingung berkilat jelas di manik kembarnya.

Mark berbalik memunggungi Haechan tepat ketika suara punggung tangan seseorang mengetuk pintu kayu beresonansi.

“Tuan muda?” suara itu berbisik pelan. Dingin dan tegas di balik pintu coklat tua yang memisah ruang pribadinya dengan seisi mansion.

“Oh.”

Kalau situasinya lain, mungkin Mark akan menertawakan rupa Haechan yang seperti ikan sedang membuka mulut. Tapi belakangan ini sensor humor Mark menurun drastis hampir tak berjejak. Rasanya tertawa adalah hal yang sulitnya setengah mati.

“Mereka mencarimu, hyung.”

Mark tersenyum keccut. “Tidak, mereka mencarimu.”

Ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dan mendesak dari sebelumnya. Gagang pintu mulai naik turun dengan kasar. Seseorang berusaha membuka pintu dari luar. Percuma saja, Mark selalu mengunci pintu itu.

“Mark hyung keluar sekarang juga atau kurobohkan pintu ini.”

Itu Jeno. Mark menghela nafas berat. Orang-orang ini merepotkan sekali.

“Keluar Haechan. Jangan libatkan dirimu dalam masalahku,” Mark mengambil langkah menuju pintu.

Perjalanannya tertahan di depan kasur oleh sebuah tangan yang mengait lengannya. Pandangan Mark lurus ke depan—pada pintu yang kini digedor keras. Mark tahu kalau ia menundukkan pandangannya sekarang yang akan ia lihat adalah sepasang mata bening yang menatapnya kecewa. Dan ia hanya akan tunduk lagi pada sepasang manik yang berbinar polos itu.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now