Chapter 5

3.6K 491 180
                                    

"Kau tampak luar biasa, kawan."

Mark mendengus mendengar ejekan berkedok pujian yang dilayangkan Lucas begitu pemuda itu memasuki pintu mahoni berwarna coklat kemerahan. Dari binar matanya, Mark tahu pemuda kelahiran Hong Kong itu masih menyimpan banyak cemoohan untuknya.

"Shut up."

Mark gatal ingin menghapus cengiran bodoh di wajah Lucas dengan kepalan tangannya. Kalau dipikir-pikir ia memang berhutang tendangan dan mungkin pukulan pada pemuda Wong itu.

Tapi berharap apa dia terhadap Lucas? Alih-alih diam ia malah tertawa lepas. Mark merasa seperti badut yang sedang menghibur Lucas walaupun yang ia lakukan adalah mendesis ketus padanya. Mungkin bukan hanya Mark yang gila di sini.

"'Kan sudah kubilang, jangan macam-macam dengan Renjun. Penjaganya banyak," ujar Lucas tersenggal-senggal berusaha mengatur nafas yang habis karena tertawa.

"Aku tidak macam-macam dengannya. Kenapa orang-orang bertingkah seolah aku akan mencelakainya, sih?" sahut Mark tidak terima.

Kenyataan bahwa dirinya menerima kepalan tinju Jaemin, dua kali, tanpa provokasi, demi apapun membuatnya getir bukan main. Rahangnya masih berdenyut ngeri mengingat pukulan yang mendarat bukan tinjuan amatir. Bagaimana bisa dia lupa Jaemin itu atlet bela diri?

"Memang apa yang coba kau lakukan, sih?" celetuk Lucas setelah beberapa menit menetralkan deru nafasnya.

"Aku tidak mencoba melakukan apapun," desis Mark disertai picingan mata.

Dia mengantisipasi tawa mengejek Lucas kali ini. Namun yang didapatkannya adalah sepasang mata yang balik menatapnya tak kalah tajam. Wajah Lucas yang biasanya santai dan ringan berubah serius dan kalem setenang telaga, nyaris tanpa ekspresi.

"Tidak terdengar seperti orang yang pantas menerima bogem mentah dua kali dari atlet Taekwondo," Lucas berujar teratur, masih memasang wajah seriusnya. Entah kenapa Mark jengah dibuatnya.

"Aku tidak tahu apa yang kau implikasikan―"

"Apapun itu yang ada di otak jeniusmu, kalau itu akan menyakiti Renjun, buang saja jauh-jauh," sela Lucas tanpa ragu, sedikit banyak membuat Mark tertegun.

"Kalian, seperti yang kukatakan tadi, benar-benar menganggapku sebagai psiko bukan? Bahkan kau? Memang apa yang akan kulakukan pada bocah itu?"

Lucas mengedikkan bahu acuh tak acuh. Alis Mark terangkat sebelah menunggu elaborasi maklumat yang dilontarkan Lucas. Keseluruhan konsep dimana orang-orang berpikir ia akan mencelakai Renjun terlalu absurd baginya. Mark butuh pencerahan, bukan tatapan datar Lucas yang terarah padanya.

"I know what you are capable of. Yang kucoba garis bawahi adalah, Renjun sudah cukup tersakiti. Dia tidak butuh jatuh dalam jeratan roman picisan yang akan melukainya lagi," ujar Lucas gamblang dan lugas, Mark hampir tidak percaya laki-laki yang berbicara padanya adalah orang yang sama yang melemparkan tanggung jawab untuk mengantar anak manusia yang diculiknya untuk pulang dengan dalih ia punya janji lain. Dalam artian; berkencan.

Walau demikian, meski dalam hati ia mengeluarkan kalimat penyangkalan pada Lucas―dan otaknya masih berpikir bahwa perlakuan tidak bersahabat yang diterimanya tidak masuk akal―dia mulai mengerti kemana arah pembicaraan Lucas. Oh, dia sangat mengerti implikasi di balik kata-kata yang diucapkan dengan dingin oleh pemuda itu.

Kalaupun ada satu hal benar yang Mark selalu ingat dari Lucas, dia menjaga orang yang disayanginya dengan baik. Terlalu baik. Sampai pada batasan dimana Lucas tidak akan segan menghabisi Mark jika melukai Renjun sedikit saja. Mengesampingkan sifatnya yang bertolak belakang, hubungan Lucas dan Renjun layaknya saudara kandung. Hal itu menjamin kemungkinan Lucas mengetahui apa saja yang dilalui Renjun selama hidup di negeri gingseng ini.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now