Chapter 6

3.1K 459 138
                                    

Renjun akui ia bukan orang paling supel di dunia ini. Kehidupan sosialnya juga tidak bisa dikatakan luas dan dipenuhi gemerlap kaum jetset borjuis di luar sana. Ia juga tidak punya banyak orang yang berkeliaran di sisi-sisinya setiap saat seperti temannya kebanyakan. Renjun cenderung membatasi dunia sosial untuk tidak memonopoli kehidupan privasinya. Katakanlah dia kaku. Namun sebenarnya ia hanya berusaha menjadi netral.

Kakeknya selalu mengatakan, mengutip dari kata mutiara seseorang, seribu teman tidaklah cukup satu musuh terlalu banyak.

Well, Renjun tidak bisa menjamin seribu teman. Mengingat betapa canggungnya dirinya. Tapi sebisa mungkin ia tidak menjalin permusuhan dengan siapapun. Seseorang bisa saja terang-terangan memusuhinya atau menampakkan watak yang kurang disukainya dan ia hanya akan membuangnya jauh-jauh dari pikiran. Bersitegang dengan seseorang hanya akan membuatnya lelah.

Karena itu meskipun ia dan Jeno memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka kurang lebih dua tahun yang lalu, ia berusaha mempertahankan pertemanannya dengan laki-laki bermata tajam itu. Sebisa mungkin tidak ada rasa sakit dan masalah yang tak terselesaikan di antara mereka.

Hubungannya baik-baik saja. Layaknya dua remaja yang berteman baik. Ia sudah merelakan Jeno sejak lama. Ia baik-baik saja.

Namun setelah beberapa pembicaraan singkat bersama Mark di malam-malam yang lalu dan situasinya saat ini membuatnya mempertanyakan apakah benar dia sudah menutup babak spesial yang ia lalui bersama Jeno dengan tepat dan bersih.

Tepatnya perlakuan Jeno satu ini membuat Renjun ragu.

"Kau pergi bersama Mark."

Well.

Ketika Jeno memintanya datang ke kafe yang biasa ia kunjungi, bukan percakapan seperti ini yang ada di pikirannya.

"Maksudmu?"

Renjun tahu benar dari nada bicaranya itu merupakan pernyataan. Pikirannya sudah jauh berkelana menerka maksud ucapan Jeno tanpa sempat ia hentikan. Jawabannya sudah memanggil-manggil.

"Kau tahu apa maksudku Renjun." Renjun tidak ingat kapan terakhir kali Jeno berbicara dengan nada datar nyaris menghakimi. Mungkin dua tahun lalu saat Jeno meminta untuk mengakhiri semuanya. "Aku melihatmu bersama Mark hyung di acara makan malam itu."

"Ataukah mataku menipuku?"

Jantung Renjun berdetak dengan akselerasi selama sepersekian detik. Menyadari bahwa tidak mungkin kehadirannya pada malam itu luput dari mata siapapun, ia mencoba untuk tidak terlalu panik. Hal terakhir yang dia inginkan adalah menjadi defensif.

"Ya, kau tidak salah lihat," jawabnya setelah terdiam cukup lama. Rahang laki-laki di depannya kaku, segaris senyum yang tertarik di wajahnya tampak kaku.

"Setelah semua peringatan itu? Setelah yang dikatakan Jaemin padamu?"

Kerutan muncul di kening Renjun. Ia tidak tahu kemana perginya bahasan ini.

"Aku berhutang pada Mark hyung," jelas Renjun tenang.

"Itukah cara mu membayarnya?" timpal Jeno skeptis.

"Ini bukannya Mark hyung akan melukai orang lain begitu saja. Mark hyung tidak sedangkal itu," sahut Renjun cepat, tangannya secara tidak sadar meremas ujung flanel merahnya.

"Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Renjun."

Jeno menelengkan kepalanya sedikit ke samping. Matanya yang tajam dan runcing tak berhenti memaku Renjun di kursi persegi berwarna hitam itu. Jari-jemarinya saling bertaut dan ditumpukan di atas meja. Ia tampak menimang mengevaluasi Renjun layaknya guru pembimbing konseling.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now