Chapter 11

3K 435 211
                                    

Warning: long ass ride, kinda


.
.

Meja panjang itu menyisakan beberapa kursi kosong tidak terisi. Walaupun di hadapannya beberapa hidangan tetap tersaji, tidak menyapa tuan rumahnya. Suara dentingan benda logam dengan porselen beresonansi di ruang temaram itu. Cahaya lilin memantul membuat kalkun panggang kecoklatan tampak lebih menggiurkan. Gelas-gelas tinggi tampak terisi cairan merah keunguan yang berkilau ditimpa bias lampu gantung yang melayang di atas.

Tiap manusia berpakaian semi formal yang duduk di sana tampak sibuk berkutat dengan piring masing-masing. Mengoyak daging dengan garpu atau menyendok salad dengan dressing yogurt bercampur mayonnaise. Obrolan kecil sesekali berputar di tengah makan malam yang diiringi lantunan partitur Beethoven.

Tapi lingkaran obrolan itu menyisihkan satu orang yang sejak awal tidak berniat membuka mulut jika tidak untuk menyuap makanan. Hampir di ujung meja, Mark tengah mengaduk-aduk piring yang berisi kacang polong, wortel, dan kentang tanpa minat. Dalam hati berdoa makan malam sialan ini cepat selesai—sebelum sebuah suara menginterupsinya.

“Kau terlihat baik-baik saja.”

“Maaf kalau itu mengecewakanmu.”

Mark menyadari kesalahan jawabannya ketika suara dentingan logam berkurang drastis. Ia mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk dan—Oh, ia menyadari jawabannya kelewat sarkastis dan menyinggung untuk orang yang terbiasa disanjung-sanjung dan memiliki orang-orang yang mencium kakinya.

What I mean is, thank you for your consideration, father,” koreksinya lagi dengan nada bicara datar dan enggan. Setidaknya itu mampu menyingkirkan beberapa pasang mata yang menatapnya sadis.

“Aku sudah mendengar dari sekretaris Nam, kau menjalankan pekerjaan yang diberikan kakek dengan baik,” pria paruh baya itu melanjtkan sambil memotong daging kalkun menjadi beberapa bagian kecil.

“Well, entah sekretaris Nam yang berlebihan atau dia hanya ingin menyenangkanmu saja,” jawab Mark sambil terkekeh hambar.

“Jangan merendahkan diri begitu. Kau anak yang cerdas dan kompeten, Mark,” suara yang lain menimpali. Segala kata-kata ketus yang Mark simpan luntur seketika mendapati suara yang lebih feminim dan halus itu terarah padanya.

“Benar begitu Jeno?” lanjutnya lagi, sebuah senyum anggun terpatri di wajahnya.

Untuk pertama kalinya dalam minggu itu Mark benar-benar melakukan kontak mata dengan Jeno—adiknya. Bukan hanya sekedar tatapan dari ekor mata saat mereka berpapasan di koridor atau ruang-ruang di rumah terlalu besar ini.

“Tentu saja,” senyum khas seorang Lee Jeno kembali dipajang. Matanya yang membentuk bulan sabit kini terarah pada ayanya.

“Hyung sangat bekerja keras. Beberapa kali aku bahkan mendapatinya pulang larut,” imbuhnya dengan senyum tipis yang tetap menawan.

Wanita paruh baya yang duduk di samping laki-laki dengan sweater abu-abu itu tampak terkejut. Matanya sedikit melebar namun raut senang dan bangga menggantinya kemudian.

“Apakah kau kerja lembur? Anak muda memang bersemangat tinggi, ya?”

Mark hanya tersenyum. Diam-diam ia melirik pria tua yang surainya belum sepenuhnya berganti keperakan yang sedari tadi hanya duduk diam memakan kudapan dengan tenang. Jujur saja itu mengganggunya. (Hampir sepanjang waktu sebenarnya eksistensi manusia itu banyak mengganggu Mark)

“Sepertinya aku harus mengikuti taktik Mark hyung. Dengan begitu aku bisa bebas di akhir pekan. Iyakan, Bu?” ujar Jeno ringan. Gurauannya mengundang tawa Tuan dan Nyonya Lee. Alih-alih guyonan, Mark menangkap itu sebagai sindiran terselubung dari adiknya.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now