Chapter 14

3K 444 122
                                    

“Jadi.”

“Jadi?”

Renjun menatap Jaemin galak sementara yang bersangkutan memasang raut acuh tak acuh yang membuat Renjun menghela nafas malas.

“Kau datang ke rumahku setelah dua minggu ini tidak menggubris pesanku sama sekali. Pasti ada yang ingin kau sampaikan bukan?”

Sikap Jaemin yang terus diam dan hanya menatap Renjun hampa membuat pemuda yang lebih pendek itu merasa kecewa. Ia kira ia dapat menyelesaikan ini dengan mudah. Bukannya tidak pernah, perilaku Jaemin yang menghindarinya sangat mengusik pikirannya.

“Jaemin... Aku, aku tidak tahu persisnya apa yang membuatmu mengabaikanku tapi—tolong katakan saja apa salahku. Kau bebas meneriakinya kalau kau mau. Jangan abaikan aku seperti ini,” tutur Renjun pada akhirnya.

“Aku tidak bisa kehilangan sahabatku, Jaemin. Karena itu tolong—“

“Itu dia masalahnya Renjun,” Jaemin menyela tanpa aba-aba. Renjun mengernyit bingung.

“Apa?”

“Menurutmu aku adalah sahabatmu. Selama itu pula aku tidak bisa menjelaskan diriku padamu,” ucap Jaemin pelan sambil menatap Renjun dengan pandangan yang sulit dibaca.

“Kau memang sahabatku. Karena itu aku akan mendengarmu. Bukankah harusnya seperti itu?”

Renjun masih menatap Jaemin tidak mengerti. Tatapan matanya begitu naif mengiris hati Jaemin. Perasaan campur aduk kembali menguasai hati dan pikirannya. Logikanya mengatakan untuk menyuruh Renjun melupakan semuanya dan bertingkah seolah tidak ada yang terjadi, tapi di satu sisi hatinya bagai bendungan yang tekanan airnya sudah kelewat tinggi.

“Kadang-kadang orang menyimpan rahasia bahkan dari sahabat mereka.”

“Jaemin,” lirih Renjun dengan tatapan tak percaya.

“Tapi itu tidak akan berakhir baik bukan? Kau sendiri mengalaminya.”

Renjun terdiam. Otaknya susah payah memproses kata-kata Jaemin yang penuh teka-teki. Nada bicaranya sangat serius dan terdengar memelas, berbagai skenario tidak menyenangkan berputar di otak Renjun. Sepertinya dia tahu kemana arah pembicaraan ini.

“Jaemin, aku—“

“Kenyataannya aku ingin mengubah pandanganmu terhadapku. Aku tidak bisa memandangmu sebatas sahabat, Renjun.”

Pernyataan Jaemin serasa menghempaskan Renjun ke realita yang teramat asing baginya. Seperti terlempar di dataran planet lain.

“Maaf selama ini aku membohongimu dan diriku sendiri. Tapi aku cukup sadar diri bahwa dari awal tidak ada tempat bagiku di sudut kecil di hatimu.”

“Kakek ingin mengatakan sesuatu?”

Mark bertanya menuntut pada laki-laki bersurai keperakan yang tengah duduk di bangku paviliun. Matanya beredar ke sekitar taman yang dipenuhi jajaran cyclamen dan semak-semak beri. Mark mengulang pertanyaannya.

“Kakek ingin menyampaikan wejangan padaku?”

Sesepuh Lee itu menolehkan kepalanya pelan, menatap Mark dengan pandangan menilai yang selalu membuat Mark berjengit tidak nyaman tiap kalinya.

“Tidak. Aku hanya penasaran apa kau masih sekurang ajar biasanya,” tegas founder Lee Industries itu santai dengan nada agak menggigit. Mark mendengus kasar.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now