Chapter 21

2.9K 339 115
                                    

WARNING

this is essentially the last chapter. tapi tidak menutup kemungkinan akan ada beberapa epilog pendek-pendek setelahnya :D

so if you've reached this page then congrats^^, you've managed to read 21 chapter of word vomit. happy reading!

.

.

.

Biasanya Renjun tidak pernah ingin berlama-lama mengurus dokumen di gedung administrasi, tapi kali ini rasanya ia ingin mendekam di lobi yang sepi mahasiswa. Menenggelamkan diri di sofa empuk, bersembunyi di balik pot-pot tanaman setinggi empat kaki, atau pura-pura menjadi patung marmer yang menjulang di tengah lobi sepertinya bukan ide yang buruk.

Tapi sudah setengah jam ia ngetem di lobi dan staf pengajar yang berlalu-lalang melewatinya mulai memandangnya aneh sejak sepuluh menit yang lalu. Telepon genggamnya juga sibuk bergetar menandakan puluhan pesan yang masuk―berani bertaruh sebagian besar pasti dari Ten. Lelaki yang lebih tua darinya itu memang senang melihatnya menderita.

Drrt drrr

Tubuhnya berjengit nyaris melonjak dari sofa. Matanya terbuka lebar melihat nama pemanggil di layar yang menyala-nyala biru.

Mark Hyung.

"Oh, merlin." panik membuat Renjun tanpa sadar mengucapkan istilah yang berasal dari novel fantasi karya penulis dari Britania Raya.

Ditambah benaknya yang cukup semrawut, tindakan-tindakan yang diambilnya menjadi bodoh dan kurang kerjaan. Pemuda yang mengambil jurusan desain itu sibuk merayap di dinding-dinding koridor―yang sebenarnya tidak terlalu berguna karena sekarang yang dijumpainya adalah deretan pilar ionik yang menandakan ia sudah sampai di bagian depan gedung.

Untuk pertama kalinya hidup di korea ia merasa bersyukur mempunyai badan ramping dan tinggi badan yang tidak terlalu mencolok (pendek) jadi ia bisa bersembunyi dengan mudah. Setelah menyisir keadaan sekitar―dan mengabaikan panggilan terus-menerus dari Mark, Renjun menuruni anak tangga setengah berlari. Berharap Mark tidak tiba-tiba memunculkan diri dari angin kosong seperti biasa.

Tapi ia lupa berharap agar tidak tersandung karena nyatanya di lima anak tangga terakhir Renjun tersandung oleh retakan berlubang batuan andesit yang ditapakinya. Ia sudah mempersiapkan tubuhnya untuk terhantam paving block dan merelakan kepalanya untuk terbentur tanah saat seseorang menahan sikunya.

"Kenapa kau selalu terburu-buru begitu sih?"

Mata Renjun yang sempat terpejam rapat membulat mengenali suara yang menyapa indra pendengarannya. Renjun pikir, mungkin lebih baik ia jatuh dan tidak sadarkan diri daripada harus bersitatap dengan Mark.

"Karena aku banyak urusan―dah," ucap Renjun asal-asalan sambil berusaha melepas kaitan jari-jari Mark di sikunya. Sesuatu yang lima menit kemudian terbukti sia-sia karena Mark kini menyeretnya menyebrangi halaman melewati air mancur. Tempat dimana kesialan ini dimulai.

"Nggak usah ngawur, Ren. Ini masih masa liburan, dan Kun bilang kau tidak ada acara apapun selain meratapi nasib di rumah selama seminggu kedepan."

Salah siapa aku meratapi nasib seperti orang nelangsa seperti itu!?

Mulut Renjun gatal meneriakkan kalimat tersebut tepat di muka Mark yang sampai sekarang ia masih enggan menatapnya. Renjun tidak tahu apakah nyalinya masih bertahan kalau sudah berhadapan dengan Mark. Walaupun ia sudah cukup trbiasa berada di sekitarnya, ia teteap tidak terbiasai dengan mood pria itu yang bisa berubah sewaktu-waktu.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now