Chapter 8

2.9K 453 187
                                    


Kau tahu kenapa kita bersikap seperti ini padamu.”

Memang benar kau bukan Jeno. Tapi aku tidak bisa membiarkan Renjun tersakiti untuk kedua kalinya.”

Aku memang tidak yakin akan apa motifmu yang tiba-tiba mendekatinya. Kalau kau pintar kau tidak akan macam-macam padanya.”

Hyung mungkin juga menyadarinya. Sekeras apapun ia mengatakan sudah merelakan semuanya, Renjun tidak sepenuhnya baik-baik saja. Mungkin dia sendiri juga tidak menyadarinya. Tapi baik kau maupun aku tahu—Huang Renjun doesn’t forget.”



Mark memandang kolam yang berkilau keperakan diterpa cahaya bulan di samping patio timur. Ia berlindung di bawah bayang-bayang gazebo sementara kata-kata Jaemin berputar pada lingkaran infiniti dalam kepalanya.

Apa motifmu mendekati Renjun?

Ya, apa motivasinya? Apa yang sebenarnya ia inginkan dari pemuda berdarah China itu?

Sudah lumayan lama Mark memikirkan juga menepis pertanyaan itu sejak malam dimana ia menangkap sosok Renjun di arena balap yang bisa dikatakan ilegal itu. Ia sempat meredakannya namun ketika ia memilih untuk menerobos pagar kediaman keluarga Qian ketika dirinya terluka alih-alih ke rumah sakit, Mark kembali mempertanyakan logikanya.

Perilakunya tidak beres—lebih dari biasanya. Anehnya itu semua berakhir pada Renjun. Mark tidak ingat kapan terakhir kali ia terang-terangan menjalin kolega dengan seseorang ataupun mengantarkannya ke rumah karena alasan ‘menjadi teman yang baik’ atau ‘menjadi warga negara yang baik’.

Tapi—teman katanya? Huh, sejak kapan seorang Mark Lee butuh teman. Ia sudah membuang jauh pikiran itu sejak pertama kali dirinya menghirup udara Vancouver lima tahun yang lalu. Memang alasan yang konyol.

Tuk

Suara gelas porselen yang beradu dengan kayu memotong kereta pikirannya. Ia bisa melihat bayangan  pergerakan seseorang yang duduk di kursi panjang di sampingnya dari sudut matanya. Dan ia tidak perlu repot-repot menengok untuk mengetahui bayangan milik siapa yang sekarang menemaninya. Lagipula hanya ada satu orang yang berani menerobos portal gaib yang didirikan oleh anak sulung keluarga Lee.

“Kebiasaanmu tidak berubah ya?” ujar orang itu sambil mengeratkan jubah tidurnya.

“Kau sendiri bagaimana? Kau masih suka seenaknya mengganggu ruang personal seseorang,” jawab Mark datar tanpa mengalihkan pandangan dari air kolam.

“Hidup di Vancouver sepertinya membuat kepribadianmu semakin dingin.”

“Entahlah salju turun lebat di sana mungkin jiwaku ikut membeku.”

Orang di sampingnya terkekeh ringan seolah Mark baru saja melontarkan lelucon besar—bicara yang sesungguhnya, Mark seratus persen serius dengan perkataannya. Dia tidak tahu apakah itu pantas untuk ditertawakan.

“Kau mau cokelat hangat?” tawarnya kemudian. Kali ini Mark menyempatkan untuk benar-benar melihat lawan bicaranya. Matanya jatuh pada dua pupil hitam itu sebelum berkata.

“Tidur. Ini sudah larut.”

Mata itu sedikit meredup. Ujung jarinya memili tali satin burgundi jubah tidurnya yang menjuntai menyentuh lantai marmer dan andesit di bawahnya.

“Kau mengusirku?”

“Kalau kau menerjemahkannya seperti itu.”

“Apa Vancouver juga membekukan hatimu?” tanyanya lirih setelah beberapa detik berlalu. Wajahnya yang semula ia gantungkan ke bawah kembali menatap kelereng amber yang sangat dikenalnya.Tapi pemikirannya dipatahkan karena mata itu mengeluarkan  jarum-jarum es tak kasat mata yang menembus tengkoraknya. Dan dalam satu kerjapan, ia tidak mengenal mata amber itu.

“Kurasa kita sepakat bahwa aku tidak punya hati, Haechan.”

Haechan hanya bisa menatap nanar ketika tubuh tegap itu beranjak menjauh darinya. Dan untuk sepersekian detik sekelebat pemandangan bandara dan punggung kokoh yang menjauh darinya melintas di depan matanya.


“Mark.”

“Kakek.”

Gerakan Mark terasa kaku saat melengkungkan tulang punggungnya agar setidaknya ia terlihat sopan di mata kakeknya. Ironis mengingat sepanjang hidupnya dia lebih banyak membangkang dan menantang pria yang sudah berumur itu daripada memperlakukannya penuh hormat seperti yang dilakukan sanak saudara lain dan orang-orang yang ia hafal  namanya hanya untuk kepentingan bisnis di luar sana.

Saat ia kembali bertatap muka, ia diingatkan betapa ia—antara benci dan tidak, pada wajah kelewat familiar yang kini memandangnya dengan pandangan menilai.

Satu-satunya perubahan yang ada pada pria berumur kepala enam itu hanya rambutnya yang mulai memutih dan gurat halus di sekitar matanya. Ah, dia juga mengganti pegangan tongkat berjalannya dengan emas berukir. Terakhir kali kakek itu mengantarnya di bandara, pangkal tongkat itu masih perunggu.

Orang-orang yang melayaninya juga bertambah. Mark dapat membedakan dengan mudah antara pelayan rumah dengan dokter dan perawat  yang bertugas memantau dan menjaga kesehatan kakeknya. Perlahan ia merebahkan punggungnya di sofa beludru di hadapan kakeknya sambil sesekali mencuri pandang pada Dokter Qian yang sedang memeriksa tekanan darah kakeknya.

Apa orang ini tidak bisa ke rumah sakit saja?  Mark mendengus dalam hati.

“Sudah berapa saat sejak kau pulang dari Kanada,” laki-laki yang suratnya sudah berubah itu mulai berbicara. Mark mati-matian menahan erangan mendengar kata pulang.

“Dan sudah beberapa saat juga kau menjalankan ujian-ujian awal yang kuberikan.”

Supervising. Mark nyaris mengumpat. Benar-benar pekerjaan yang melelahkan. Belum lagi malam-malam dimana ia harus melakukan laporan tertulis pada kakeknya. Tertulis dalam artian tulis tangan. Ia bisa gila.

“Ya, hoejangnim,” Mark berujar serak saat kakeknya menatapnya kamar seakan menunggunya mengatakan sesuatu. Pria tua itu menantangnya?

“Kerjamu cukup... memuaskan.” Tentu saja. Mark berharap apa? Kakeknya bukan orang yang murah pujian.

“Terima kasih, hoejangnim.”

Dalam hati Mark bertanya kapan pembicaraan ini akan berakhir. Ia tidak yakin bisa menghadapi kakeknya lebih lama atau ia akan benar-benar mati karena terlalu gila. Sesuatu tentang kakeknya selalu membuat Mark merasa ganjil. Seolah instingnya meneriakkan untuk kabur saja tapi di saat bersamaan juga menyuruhnya untuk tetap tenang.

“Tingkatkan.”

Apa?” ia menaikkan suara entah sadar atau tidak.

“Dua minggu lagi lalu kau akan kutarik ke kantor pusat.”

Well.

“Kau tidak benar-benar serius.” Mark bahkan tidak repot-repot berlaku sopan, bahkan matanya bukan menyiratkan pertanyaan melainkan keputusannya sendiri.

“Jaga sikapmu Mark, kau juga seorang bangsawan Lee,” tegur kakeknya. Ia mengisyaratkan pada perawat yang menyiapkan obatnya bahwa ia boleh pergi.

“Dan pebisnis. Aku  sudah mengatakannya berkali-kali. Aku tidak ingin ikut campur dalam segala urusan Lee Industries. Kurasa itu tugas Jeno?”

“Itu tugas siapapun yang menyandang marga dan darah leluhur Lee Han,” balas kakeknya tak kalah sengit.

“Pikiranku tidak akan berubah. Lagipula, bukankah kau mengasingkanku ke Kanada untuk menyingkirkanku?” Mark mendesis diantara giginya yang bergemeletuk. Tangannya terkenal kuat di atas tempurung lututnya.

“Bicara apa—”

“Aku tidak ada waktu untuk ini. Kita akan bertemu lagi saat aku menyerahkan laporan, hoejangnim.”

Tanpa seizin kakeknya, Mark sudah berdiri tegak di atas karpet abu-abu dengan angkuh. Dalam hati ia agak puas melihat kakeknya yang kesulitan berkata-kata. Ia tidak repot-repot membungkuk memberikan hormat pada pria tua yang disegani itu sebelum menuju pintu besar mahogani. Menutupnya dengan asal yang menimbulkan bunyi debum yang lumayan nyaring.

Setelah beberapa detik barulah pelayan disana melepas nafas yang ditahan sedari langkah pertama yang diambil Tuan Muda Lee keluar pintu. Mungkin Mark tidak sadar ia telah menciptakan atmosfer mencekam di ruangan bernuansa abu-abu dan biru itu.

Ketua Lee menolehkan kepalanya pada Kun yang sedari tadi duduk diam setengah canggung setengah geli menyaksikan perdebatan kakek dan cucu tersebut.

“Lihatlah sikapnya itu. Tidak heran sampai sekarang ia tidak punya kekasih.”

Kun hanya tersenyum tipis dan tertawa kecil guna menanggapinya.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now