Chapter 9

2.7K 424 229
                                    

Untuk Novisaputri semoga notif gmail gak php kali ini wkwkwk


°

Mimpi buruk Renjun berawal seperti ini.

“Apa katanya?”

“Aku harus pulang sekarang. Acara keluarga.”

Air muka Jaemin keruh saat mengatakan hal tersebut. Alisnya bertaut dan matanya memancar ketidaksukaan yang jelas pada layar ponsel yang digenggamnya. Renjun bertanya-tanya apa yang membuat raut ceria dan santai Jaemin berganti seratus delapan puluh derajat seperti itu.

“Ah, good luck bro,” cetus Jeno. Entah itu bermaksud untuk menyemangati atau tidak—Renjun setengah percaya ia melihat binar prihatin bercampur seringai di matanya.

Raut wajah Jaemin tidak banyak berubah. Kalaupun iya wajahnya makin tak terbaca. Ia menoleh ke  samping dan Renjun harus menelan keterkejutannya melihat kegusaran berputar di mata Jaemin.

“Sepertinya aku tidak bisa mengantarmu pulang, kau tidak apa-apa?”

“Santai saja Jaemin, aku bukan anak TK yang akan tersesat di jalan,” gurau Renjun ringan berusaha mencairkan es yang entah sejak kapan tercipta di sekeliling pria itu. Renjun tersenyum lebar—Jaemin tidak.

“Begitu? Sayang sekali, padahal aku ingin berbicara lebih banyak denganmu.”

Senyum Renjun luntur perlahan seperti api lentera yang meredup kehabisan minyak. Susah payah ia mempertahankan segaris senyum yang bergetar di wajahnya.

“Aku akan mengantarnya.”

Renjun menatap tidak percaya pada orang yang duduk di hadapannya. Apa Mark serius? Sepertinya iya. Dia itu tidak peka atau memang mengabaikan senyum sinis Jaemin—yang walaupun begitu tetap menawan?

“Renjun bisa ikut bersamaku dan Haechan. Kau tidak perlu repot-repot, hyung.”

Mungkin hanya perasaannya, atau cara Jeno menekankan kata repot, hyung, dan bersamaku terdengar agak aneh di telinganya? Seolah dia sedang mengimplikasikan sesuatu yang hanya dua orang itu tahu.

“Itu tidak merepotkanku sama sekali. Kebetulan aku juga harus menemui Dokter Qian—lagipula—,” Mark menatap Jeno dan Haechan bergantian dengan segaris senyum.

“Lagipula Renjun mungkin tidak ingin mengingati privasi dua orang yang sudah bertunangan.”

Jaemin mendengus. Sedang Jeno memasang wajah seolah Mark telah menghina kakek buyutnya—paradoks, mereka memiliki garis darah yang sama.

“Kurasa itu bukan keputusanmu—”

“Aku akan memanggil taxi,” sela Renjun buru-buru setelah kenyang menyaksikan perwujudan nyata sikap kekanakan konyol di depannya.

“Jangan bodoh. Kau pikir ini jam berapa? Akan sulit mencari taxi di waktu seperti ini,” ujar Mark ringan namun menyeret Renjun lebih dalam ke dasar jurang.

“Aku—”

Drrt drrt

Ponsel Jaemin kembali bergetar di atas meja persegi itu. Gelombang sonik seolah bereseonansi dengan perkakas makan yang terbuat dari stainless steel.

“Sepertinya percakapan kecil kita harus ditunda dulu teman-teman.”


‘경희 대학교 PHARMACY’

“Kenapa kita ke sini?”

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now