warning: long chapter ahead. (not that long but yea...)
warning pt.2: bagian terakhir agak-agak hmm... spicy? bitter, sweet and sour. campur-campur.
happy reading~~
.
.
"Gangwon?" kun mengalihkan pandangan dari buku yang berada di pangkuannya. Kacamatanya yang tadi merosot sedikit sepenuhnya ia lepas dan diletakkan di meja kecil di samping sofa berlengan.
"Hmm," Renjun menjawab dengan gumaman di sela-sela kegiatannya memasukkan buku dan kotak bekal di dalam ransel.
"Kapan kau berangkat?"
"Lusa."
"Pada musim dingin seperti ini?"
Renjun terkekeh kecil mendengar nada tidak percaya sekaligus heran di suara Kun. Tapi dia bisa memaklumi itu karena Renjun dikenal sebagai orang yang jarang—atau malas—pergi keluar rumah saat liburan atau musim dingin.
Untuk pergi ke minimarket terdekat pun dia malas. Harus melalui lima belas menit perdebatan tidak penting dengan Sicheng sebelum anak itu mau mengangkat pantatnya keluar dari rumah.
"Ini sudah mendekati akhir musim dingin. Tidak akan terlalu dingin di Gangwon, tidak masalah."
"Yah, orang-orang banyak pergi ke Gangwon saat musim semi atau gugur."
Renjun hanya memutar bola matanya. Kun memang tidak pernah menunjukan secara jelas tapi laki-laki yang bekerja di bidang medis itu cukup protektif terhadap Renjun. Seringkali ia mendapati Kun memperlakukannya seperti anak sekolah dasar.
"Hanya dua hari. Jangan bertingkah seolah aku akan menyebrangi lautan menuju entah kemana," cerocos Renjun, suaranya teredam syal biru yang melilit lehernya.
Dari ekor matanya, ia bisa melihat Kun hendak membuka mulut yang sayangnya terhenti oleh suara lonceng tanda pagar dibuka. Renjun setengah berlari menuju pintu depan—nyaris menabrak Sicheng yang muncul dari dapur. Pemuda yang belum lama masuk sekolah menengah atas itu melesakkan sepatu bootnya buru-buru dengan tali yang masih menjuntai-juntai.
"Hati-hati!"
"Aku tahu!"
π
"Yang punya acara kan mereka, kenapa jadi kita yang repot?"
Renjun hanya tersenyum singkat. Di tangannya pita-pita perak menjuntai berkilau diterpa lampu bundar di langit-langit yang menyala oranye.
"Mereka akan segera sibuk ujian. Anggap saja ini perbuatan baik terakhir kita untuk mereka."
Jaemin mendengus, dalam hati sudah menduga Renjun akan menjawab seperti itu. Anak yang berasal dari negeri tirai bambu itu memang kadang terlalu baik. Seringnya terlalu naif.
"Tentu saja kau akan bilang begitu," cibir Jaemin setelah melempar beberapa lampion setengah jadi ke lantai.
('Ini susah sekali! Kenapa mereka tidak menyewa EO saja?' Jaemin protes ketika Gunhoo menjitak kepala atas tuduhan merusak properti.)
Menggelengkan kepala, Renjun meninggalkan kegaduhan yang ditimbulkan Jaemin di belakang. Ia beralih ke tumpukan kardus yang terletak di sudut ruangan. Stempel benda pecah belah hampir terkelupas di samping.
"Oi, Renjun. Kau sedang tidak ada kerjaan?" seorang murid dengan kancing kemeja yang seluruhnya terbuka menghampiri Renjun.
"Tidak."
YOU ARE READING
Race Of The Heart [COMP.]
FanfictionEntah takdir apa yang digariskan langit untuk Mark, tidak mungkin takdir yang lurus-lurus saja. Karena terlibat dengan insiden lalu lintas sehari setelah ia kembali dari 'pengasingannya' di Kanada bukan jalan hidup yang lurus-lurus saja yang selama...