Chapter 12

2.8K 415 263
                                    

Renjun ingat melihat cahaya. Sejenis ultraviolet dan bias cahaya neon kebiruan yang mengabur di udara, menusuk-busuk mata dan membuat kepalanya pusing. Ia juga ingat mendengar bunyi bass musik yang berdentum berat di telinganya. Juga siluet puluhan orang yang melenggak-lenggok liar mengikuti ritme lagu EDM yang disetel keras.

Mimpinya aneh sekali.

Ia seperti terbang di udara menuju bilik toilet. Entah karena apa lidah dan tutup toilet itu bergerak seperti pac man dan mengumpatinya—mungkin gara-gara Renjun seenak hati menumpahkan isi perut di sana. Tapi bukankah itu wajar?

Tubuh kurusnya lalu terdorong ke belakang membentur benda keras dan dingin. Ketika ia membuka mata, cahaya remang-remang lorong menyapa korneanya dan dinding beton menjadi sandaran punggungnya.

Sekelebat bayangan hitam membelit tubuhnya sebelum menggumpal dan berubah menjadi sosok familiar. Lee Jeno? Ah, ia juga ingat akan rasa sebuah benda empuk yang membentur bibirnya tiba-tiba. Juga kumpulan otot lunak dan basah yang menggeliat masuk rongga mulutnya.

Renjun mendorong tubuh itu, lalu berlari sekuat tenaga menjauh. Sesuatu mencekal pergelangan kakinya membuat Renjun tersungkur di atas lantai yang dingin. Ia menoleh cepat ke belakang, matanya membelalak begitu gumpalan asap hitam tadi berubah menjadi sosok yang juga familiar.

Lee Haechan?

Mimpinya aneh sekali.

Rasa mual bergolak dalam perutnya. Ia dapat mencecap rasa asam yang kental di ujung tenggorokan. Rasanya begitu nyata, terlalu nyata untuk sebuah mimpi. Dari ujung matanya ia melihat sebuah sepatu hitam yang menapak keluar dari kegelapan. Bayangan tinggi menjulang di atas tubuhnya.

Kepala Renjun mendongak ke atas, menemukan bayangan wajah seseorang yang tampak kabur. Namun suaranya sangat ia kenal.

“It's time to take you home princess.”

Rasa mual itu bertambah intensitasnya. Perutnya seperti diaduk-aduk tidak karuan. Kepalanya kening bukan lain dan berdenyut nyeri seolah habis dihantam dengan Mjolnir. Dia tidak bisa menahannya—Renjun ingin muntah.

Ugh—hoek!

Matanya terbuka. Saat itu juga kepalanya nyeri seperti diserang ribuan jarum. Matanya berkunang-kunang mencoba merekam ruang di sekitarnya. Renjun memejamkan mata erat-erat. Rasa mual di perutnya bukan hanya mimpi belaka.

“Aarrgh..” mulutnya mengerang tertahan. Ia mencoba membuka kelopak matanya hanya untuk mendapati langit-langit sebuah ruangan yang berputar di atas kepalanya.

Sayup-sayup ia mendengar suara metalik knop pintu yang dibuka diikuti derap langkah kaki seseorang yang teredam sesuatu. Renjun mengerjap-merupakan mata beberapa kali dengan mengenaskan saat dirasa nyeri di kepalanya berkurang.

Well, Shit.

Renjun mengutuk dalam hati begitu lensanya mulai fokus. Ini jelas-jelas bukan langit-langit kamarnya. Kamar yang biasa ia tempati tidak memiliki plafon yang terbuat dari beton. Seingatnya ia juga tidak memasang lampu LED di sela-sela coving. Dan lampu kamarnya jelas tidak seperti itu. Kasur di bawah tubuhnya juga terasa berbeda, dan bau ruangan ini—pinus?

“Aku mulai bertanya-tanya kapan kau akan bangun,” sebuah suara rendah mengusik telinganya.

Jantungnya seolah membeku mengenali bariton yang sangat dikenalnya. Sungguh sial nasibnya. Dia harus menjelaskan apa pada Kun nanti? (Dia tahu harus menjelaskan apa tapi dua hal berbeda namun sama buruknya hanya akan memperparah keadaan Renjun. Sudah minum-minum di klub, pingsan, terbaring di tempat asing pula)

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now