Chapter 17

2.6K 371 157
                                    

"Kenapa kau tidak mengatakan apapun? Orang-orang bisa salah paham."

"Hm? Tidak tahu. Kau sendiri kenapa tidak menyangkalnya?"

Mereka sedang duduk di ruang tengah. Di atas sofa panjang berlengan yang biasa digunakan Sicheng untuk tiduran saat lembur. Renjun memunggungi Mark. Kakinya menjuntai melewati lengan dan bergelantungan beberapa senti di atas lantai.

Sedangkan laki-laki yang lebih tua menaruh perhatiannya pada siaran TV kabel yang menayangkan siaran ulang drama bergenre thriller. Sekali lihat saja Renjun tahu ia tidak benar-benar menonton drama, pandnagan matanya cukup memberitahu bahwa pikirannya berada di luar ruangan ini.

'Kau tidak kembali ke rumah?'

Hanya kalimat itu yang Renjun hendak tanyakan sebelum mendengus. Jengah sendiri mengingat ia sudah melontarkan pertanyaan itu berkali-kali dan mendapat jawaban yang sama;

'Kau mengusirku? Kau benar-benar membenciku ya?'

Renjun tidak tahu kapan Mark Lee belajar bersikap over dramatis seperti itu. Karena itu ia membuiarkannya luntang-luntung di ruang tengah selama berjam-jam dalam keheningan yang nyaman. Memandangi salju yang masih turun ringan di luar jendela.

Kelopak matanya memberat saat sebuah beban bergelayut di pundak. Helaian-helaian gelap menggelitik kulit leher yang tidak tertutup kerah sweater yang dikenakan Renjun.

"Kau bisa menggunakan kamar tamu kalau mengantuk," Renjun bergumam lamat-lamat. Kepalanya sudah dipenuhi kabut kantuk yang membuatnya malas untuk berdebat lagi menyingkirkan kepala Mark.

"Hmmm..." balas Mark tidak jelas. Renjun bisa merasakan getaran halus di punggungnya dari nafas teratur Mark. Mungkin pria itu sudah tertidur.

"Mungkin saran itu harusnya kau gunakan untuk dirimu sendiri."

Renjun mendengus. Dia sedang tidak dalam mood untuk mendengarkan perintah orang. "Aku punya kamar sendiri."

Pekikan pelan terdengar saat tubuhnya mengambang di udara selama sepersekian detik sebelum tubuhnya mendarat di sofa dengan posisi berbaring menyamping. Renjun rasa wajahnya sudah menyerupai kepiting rebus saat sepasang tangan melingkari perutnya dari belakang. Tidak terlalu erat hingga membuatnya sulit bernafas tapi tidak membuatnya bisa kabur dengan mudah.

Sialan kau, Mark Lee.

"Kau menggigil."

Mark benar. Renjun mengamati jari-jarinya yang bergetar dan giginya yang sedikit bergemeletuk. Anehnya tubuhnya tidak merasakan dingin. Kehangatan seperti dipompa dari jantungnya dan berpusat di wajahnya yang memerah.

"Aku sudah baikan," Renjun mengelak. Lalu mengutuk dalam hati saat yang didapat adalah lingkaran lengan Mark yang makin mengerat.

Punggungnya kini beradu dengan dada bidang Mark. Permukaan tubuhnya yang memunggungi Mark menempel seperti potongan puzzle tidak menyisakan rongga bahkan untuk udara.

Wajah Renjun makin memanas. Terlebih merasakan hembusan angin hangat yang menyapu lembut tengkuk dan telinganya. Mark jelas mengetahui ini. Merasakan tubuh Renjun yang mendadak kaku seperti papan dalam pelukannya.

"Rileks Ren, otot-ototmu akan sakit kalau begitu."

Mark meletakkan dagunya di pucuk kepala Renjun. Sesekali menghirup dalam aroma shampoo yang menguar dari surai Renjun yang mencuat ke sana kemari.

"Kenapa kau melakukan ini?"

Suara kecil Renjun hampir tersamarkan oleh televisi yang menyala dengan volume rendah. Kalau bukan karena jarak mereka yang dekat, Mark pasti melewatkannya.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now