49. Akhir ??

664 87 74
                                    

Inilah hari yang ditunggu - tunggu sekaligus hari yang sangat ditakuti Jira dan Jihoon. Mereka akan kembali menuju kediaman Yoon, rumah Jira.

Jihoon menepati janjinya untuk mengantar Jira. Sengaja Jihoon meminta supir mengantar mereka dengan mobil pribadinya. Sedari tadi Jihoon juga tidak melepaskan genggaman tangan mereka. Sampai di dalam mobil pun Jihoon tidak melepasnya. Bahkan tangan Jihoon yang dingin terasa di tangan Jira.

"Jihoon-ah, aku yang ingin bertemu appa, kenapa kau yang gugup ?" Kata Jira. Dia mengeratkan genggaman tangan mereka bermaksud menenangkan Jihoon. Padahal dia sendiri juga tegang.

"Mungkin karena tanganmu dingin, jadi tanganku ikut dingin." Jawab Jihoon.

Tentu saja Jira tidak mempercayainya semudah itu. Jihoon tidak akan gugup semudah itu jika bukan dalam dirinya sendiri yang menyuruh gugup.

Sebenarnya apa yang dipikirkan Jihoon ? Batin Jira.

Jihoon mengalihkan perhatiannya menuju pemandangan luar. Namun pikirannya sedang tidak bersamanya saat ini. Jantungnya berdegup kencang bersamaan dengan tangannya yang mendingin. Sungguh Jihoon tidak bisa menghentikan keresahannya ini.

Semoga akan berjalan baik - baik saja. Gundah Jihoon.

Ketika mobil Jihoon memasuki kawasan perumahan Jira, jantung Jira dan Jihoon semakin berdetak kencang. Rasanya bertemu orang tua sendiri lebih tegang bagi Jira daripada menjalani ujian yang dia baru saja lewati kemarin.

"Kajja !" Ajak Jihoon dengan suara kecil.

Jira mengikuti langkah kecil Jihoon yang menggandeng tangannya. Jantungnya seperti berhenti berdetak saat Jihoon menekan bel nya.

"Ketika kau melihat apa yang terjadi, aku harap kau tidak kecewa."
Ucap Jihoon dengan lembut.

Lalu pintu terbuka. "Aigoo.. Nona Jira." Bibi pekerja rumah tangga yang mengenali Jira langsung memeluk Jira. "Akhirnya nona pulang, nona ke mana saja ?? Tuan menunggu - nunggu nona sampai.." Ucapan si bibi terhenti.

"Sampai apa, bi ??"

"Silahkan nona lihat sendiri. Tuan ada di ruang musik. Setelah nona tidak ada kabar, tuan sering ke ruangan itu dan mengunci dari dalam. Lalu tuan akan keluar setelah jam belajar nona dulu selesai." Jelas si bibi. Mendengar penjelasan itu, Jira jadi membayangkan appanya depresi. Pikiran itu jadi membuatnya merasa bersalah.

Jihoon menyadari kesedihan Jira, Jihoon bergerak merangkul pundak Jira. Mengusapnya pelan dan membisikan sesuatu yang menguatkan Jira.

"Kalian perlu bicara berdua. Selesaikan masalah dengan appamu sekarang. Kalau kau memintaku untuk menemanimu sampai dalam, aku akan tetap di sampingmu selama dengan appamu. Kau tidak perlu khawatir dan jangan merasa bersalah dulu."

Jira menatap Jihoon. Tatapannya seakan berkata, 'Aku ingin kau ikut bersamaku.'

Jihoon mengerti tatapan itu. Dia langsung tersenyum dan kembali menggandeng Jira. Berjalan bersamaan menuju ruang musik.

Jira meraih knop pintu itu. Menggerakannya ke atas dan ke bawah. Benar kata sang bibi. Pintunya terkunci. Kalau Jira berteriak pun itu tidak akan berpengaruh karena ruangan itu kedap suara. Tapi Jira tidak bisa menunggu appanya keluar sampai sore jika sesuai dengan jam belajarnya.

Tukk.. Tukk.. Tukk..

Tukk.. Tukk.. Tukk..

Tukk..

Suara kunci terdengar, bersamaan dengan pintu yang terbuka. Memunculkan seorang pria paru baya yang terlihat kacau. Wajahnya lesu seakan banyak kekurangan tidur. Tubuhnya terlihat lebih kurus. Appa Jira yang biasanya terlihat berwibawa sekarang terlihat lebih tua.

PartitureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang