37. Finally

3.3K 173 7
                                    

Dua orang tengah duduk di sebuah cafe klasik.
Keduanya sama-sama diam. Suara keriwehan pengunjung dan musik menjadi saksi kebisuan pria dan wanita ini.

"Megan. Kali ini aku bersungguh-sungguh padamu. Aku akan bertanya sekali lagi. Jika kau keberatan, aku tidak akan menganggumu lagi."

Helaan nafas terdengar dari sang pria. Tujuan terakhir sekaligus pencarian terakhirnya sedang duduk bersama dirinya, disini.
Kebodohan yang ia lakukan dimasa lalu telah mengubah pandangannya terhadap perempuan.
Perempuan yang gila harta. Rela menjadi yang kedua demi secuil kekayaan, benar-benar menjijikan.

Modernisasi telah mengubah pola pikir perempuan jaman sekarang.
Mereka hanya memikirkan, bagaimana mendapatkan uang tanpa bekerja. Setidaknya itu gambaran perempuan dalam otak Sean.
Ya, kecuali Ibu serta adiknya.

"Kau menyerah?" Tanya Megan pelan. Sebenarnya di dalam lubuh hati Megan, perempuan itu sudah jatuh terlalu dalam pada pesona Sean. Bahkan sejak ia magang di perusahaan laki-laki itu.

"Kau yang mendorongku untuk menyerah, Meg. Kau pikir aku akan terus mengejarmu sedangkan kau sendiri tidak memberi respon?"

Telak. Ucapan laki-laki ini menampar diri Megan.
Ia sadar selama ini dirinyalah yang kaku serta tidak memberi kepastian kepada Sean. Ya, Megan bodoh, ia mengakui itu.

Megan tetap dalam keterdiamannya. Ia bahkan tidak menatap wajah Sean yang sedari tadi menatap wajahnya dengan dalam.

"Kau tidak menjawabku?" Tanya Sean lagi. Perempuan itu masih menunduk atau sekadar memalingkan wajahnya.

Laki-laki ini menghela nafasnya dengan berat dan tersenyum simpul, "Lagi-lagi kau menolakku, Meggy."

Megan kemudian menatap wajah Sean yang terlihat kecewa. Wajah pria itu masih datar, namun matanya tidak berbohong.
Perempuan itu ingin mengatakan sesuatu, namun Sean sudah beranjak dari sana, meninggalkan Megan yang tampak menyesal.

"Aku mencintaimu." Gumam Megan, tentu saja Sean tidak mendengar itu. Laki-laki itu sudah berada di ujung pintu.

***

Dua hari setelah kejadian itu, Megan kembali ke New York. Perasaannya gundah. Ia kembali dengan perasaan yang kosong.
Bahkan saran orangtuanya untuk berbaikan menjadi angin lalu.

Kantung mata yang menghitam menandakan ia banyak pikiran.
Apa ini karma?
Apa mencintai sesulit memecahkan teori relativitas milik Albert Einstein?

Kini ia benar-benar terkena karma. Megan demam, efek berbohong kepada atasan.

Tangannya meraih benda pipih dan mengetik sesuatu di sana.
Ia tempelkan benda pipih itu ke telinganya.

"Annabethh!!" Raungnya ketika teleponnya tersambung.

"Kau kenapa? Ah, kupingku!"

"Aku sakit hati!"

"Kenapa lagi? Tumben sekali."

"Sepertinya karma memang ada,"

"Sean.."

"Sudah kuduga."

Setelah bercerita panjang lebar pada Anna, ia kemudian merenungkan yang temannya itu sampaikan.

"Tidak selalu yang mengejar itu optimis. Jika ia lelah, maka ia pesimis. Pun, kau dan Sean. Laki-laki punya batas. Ia akan berhenti jika sesuatu yang ia kejar adalah sebuah kesia-siaan."

Kini ia merenungkan yang ia lakukan selama ini pada laki-laki itu.
Air matanya keluar tanpa permisi.

"Sial, aku menangis." Monolog Megan sambil mencoba tertawa. Berpura-pura kuat adalah yang ia lakukan kini, namun sepertinya sulit.
Perempuan kuat manapun pasti memiliki sisi yang lemah.

Stole The Bastard HeartDonde viven las historias. Descúbrelo ahora