Chapter 5

7.5K 249 10
                                    

Langit seakan runtuh diatas kepalaku. Cahaya kasih dan hangatny cinta yang kurasakan dari ibu tiba-tiba sirna setelah dia menampar diriku. Seumur hidupku, wanita itu tidak pernah melakukan hal yang demikian. Bahkan untuk menggores kulitku saja tidak pernah rasanya. Kakiku menjadi layu, pipiku juga terasa sangat panas dan jiwaku kini semakin membara atas apa yang baru saja terjadi. "Apa-apaan ini bu? Kenapa ibu menampar diriku?" ucapku kepada ibu yang sedang naik pitam.

"Jangan pernah sekali lagi kamu memanggil ayahmu brengsek! Bagaimanapun dia adalah ayahmu! Kamu sudah jadi anak durhaka udi!" teriak ibu sambil menjambak rambutku.

"Sudah bu, sudah" ayah kemudian melerai ibu. Diriku segera melepaskan jambakan tangan ibu dan mendorong ibu sampai jatuh ke lantai. Aku menangis sejadi-jadinya sambil berlari keluar rumah. Air mataku berjatuhan dengan sangat derasnya, tak pernah ibu berbuat seperti itu sebelumnya. "Kenapa ibu bisa melakukan hal ini kepadaku? Tidakkah dia sayang lagi kepadaku?" teriakku dalam hati.

Diriku kemudian berlari sangat kencang, kulangkahkan kakiku kearah hatiku menuju. Di sepanjang perjalanan, aku hanya bisa tetap berlinang air mata sebab perasaan yang aku rasakan. Rasanya sungguh sakit seperti teriris-iris dengan pisau hatiku ini. Dan semua ini tidak akan terjadi jika bukan karena dia.

Ini pasti ulah lelaki itu, dia pasti sudah menghasut ibu dan membuat ibu menjadi seperti ini. Tapi kenapa ibu mempercayai lelaki itu? Apakah ibu sudah benar-benar tidak menyayangi diriku? Entahlah, semakin aku berlari semakin besar pula rasa benci yang aku rasakan kepada ibu, dia tega untuk memukul diriku.

Dia pasti sudah tidak menganggap diriku sebagai darah dagingnya lagi, dan memilih lelaki itu dibandingkan diriku. "Dasar pelacur! Perek! Wanita haus batang!" makiku dalam hati. Dan sekarang wanita dan pria itu kini sama buruknya di mataku, aku benci mereka, benci!

"Kenapa takdirku harus seperti ini pak?! Kenapa?!" teriakku di sebuah danau tempatku biasa untuk bersembunyi. Suaraku bergema dengan kuat di tempat ini, membuat banyak burung-burung berterbangan sebab kaget dengan suaraku itu. Kala itu danau terlampau tenang dan sepi, sehingga aku merasa bebas untuk berteriak sepuas mungkin.

"Takdir yang seperti apa teman?" ucap sebuah suara dari belakangku. Suara itu sangat aku kenal, suara Arman-ku.

Melihat arman yang tiba-tiba datang diriku seketika menangis tersedu-sedu, pikiranku kembali mengingat bahwa diriku akan berpisah dengan sahabatku satu-satunya ini. Seseorang yang dapat mengerti apa yang ada dipikiranku dan juga mauku. Seseorang yang dapat membuatku tertawa dengan candaan dirinya setiap hari dan mengajarkanku pelajaran yang berarti tentang hidup.

"Takdirku sangatlah buruk, teman. Aku sudah tidak memiliki bapak sejak diriku kecil. Segala ucapanku kini tidak pernah didengar oleh Ibuku dan sekarang mereka berdua selalu memaksakan kehendak mereka kepadaku. Hidupku kini sungguh terlalu menyedihkan" ucapku sambil tersedu-sedu.

Aku kemudian melihat kearah Arman dengan linangan air mata yang sudah sangat membasahi pipiku. Dia tampaknya berusaha dengan sangat untuk tersenyum kepadaku, entah mengapa dia tersenyum waktu itu. Aku rasa Arman yang mengerti dengan kondisi emosiku dan lantas menarik tubuhku ke pelukannya. Arman memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan diriku dan dengan tangkas dia menangkap tubuhku ke pelukannya dan memeluk diriku erat sambil berkata lembut.

"Aku tau bahwa takdir kita saat ini memang buruk, tapi bukan berarti kita memiliki kehidupan yang buruk kedepannya. Jika takdirmu denganku buruk, mungkin dari dahulu kita tidak akan pernah bertemu. Kita tidak akan pernah berteman sekarang atau mungkin kita sudah berpisah sebelum kita dapat bertemu" ucap Arman kepadaku dengan sangat lembut. Ucapannya yang sangat lembut beserta kata-kata yang dia ucapkan membuat hatiku semakin hangat.

Journal Of Exaudi [Finished]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang