Chapter 7

3.1K 167 0
                                    

Aku berusaha menepis wajah ayah dari wajahku, dengan gemas aku cakar leher dan juga kupingnya.

"Aduh, sakit tau" ucap ayah padaku. Akupun dengan agak kesal berkata,"Ya lagian ngapain ayah bercandain aku kayak begitu, emang aku perempuan apa digituin. Sana tidur sama ibu!" ucapku sambil menyikut perutnya. Akupun membalikkan badanku dan berusaha tidur. Dan lagi-lagi ayah memeluk diriku namun kali ini dia tidak menggerayangi diriku lagi.

Diriku terbangun ketika alarm di kamar ini berbunyi. Akupun melihat kearah jam tersebut, ternyata sudah jam 6 pagi. Kulihat ayah masih tidur disamping dan tubuhnya sangat rapat ke tubuhku. Akupun sedikit menggeserkan badannya agar aku bisa menarik selimut yang sedari tadi tergulung-gulung, dan gerakanku sepertinya langsung mengusik tidurnya. Dia langsung terbangun dan melihat diriku bingung. Aku bisa melihat rambutnya acak-acakan karena habis bangun tidur.

"Selamat pagi, anak ayah ternyata udah bangun" ucapnya sambil duduk di kasurnya dan langsung bersandar. Sepertinya dia tidak menunjukkan merasa bersalah atau merasakan keganjilan ketika melakukan perbuatan 'anehnya' itu kemarin, dan seperti biasa aku tidak terlalu merespon dirinya.

"Ya, pagi. Awas dulu dong yah, ini selimutnya mau aku rapihin. Ayah kalo tidur rese banget" ucapku kepada ayah.

"Iya, maaf ya. Yaudah kamu beresinlah, ayah mau ke kamar mandi dulu" ucap ayah kepadaku, dia kemudian langsung mencium keningku. Aku yang merasa tidak nyaman langsung memberontak,"Ih apaansih yah, kok dicium-cium gitu, geli" ucapku kepadanya.

"Kan ayah sayang sama kamu, emangnya ada aturannya ya ga boleh nyium anak sendiri?" ucap ayah sambil berlalu ke kamar mandi. Diriku langsung membereskan kasur ini dan langsung menuju dapur. Aku melihat ibu sedang memasak bersama dengan nenek, dan hari ini sepertinya ibu akan sarapan bersama kami.

Sudah lama diriku tidak sarapan bersama seluruh anggota keluargaku, sebab biasanya mereka akan sibuk untuk mengurusi urusannya masing-masing dan akhirnya kami tidak pernah makan bersama di satu meja yang sama. Sepertinya keluargaku akan semakin hangat, akhirnya setelah penantian yang panjang, diriku bisa merasakan kembali kegiatan seperti ini.

Namun hari ini ada yang sedikit berbeda dengan wajah ayahku, dia seperti orang yang baru mendapat undian. Senyumnya terkembang sepanjang sarapan, dan pipinya seperti disapukan pemerah pipi. Dia juga tak hentinya menatap diriku seperti barang yang diincar oleh seseorang. Dan entah mengapa, tawanya terdengar semakin renyah dan juga merdu bagaikan toa.

Sedangkan diriku yang memang hanya sebuah benda mati, tidak dapat mencerna segala candaan ataupun pembicaraan mereka. Mereka selalu berbicara bak seorang pemilik perusahaan, yang tak jauh-jauh dari perkembangan bisnis, saham ataupun investasi. Dan ternyata pembicaraan ayah dan ibu nyambung dengan pembicaraan nenek, yang juga tidak jauh-jauh bunga pinjaman dan likuiditas.

Otakku yang belum seencer larutan gula hanya bisa mendengar dan menerka apa yang sebenarnya mereka maksud di dalam pembicaran mereka itu, namun aku semakin bahagia ketika melihat ibuku dan ibunya – nenek – menjadi semakin dekat dan dapat tertawa bersama.

Entah kapan aku terakhir kali memimpikan suasana seperti ini, dimana kami semua dapat berkumpul bersama dan menikmati makanan di meja yang sama. Dan ternyata mimpi yang terkubur di jurang terdalam ingatanku itu menjadi kenyataan kini, dan sekarang aku mencoba menerima duri dalam keluargaku ini.

Aku yakin kalian tau siapa yang aku maksud, dia yang kupanggil Ayah setiap harinya. Semakin aku dewasa, semakin aku melupakan rasa sakit serta kecewa yang kurasakan dulu. Perihnya hati yang seperti tersayat silet, dan rusaknya pemikiran seperti orang gila kini hanyalah memori yang sedikit demi sedikit aku coba lupakan.

Journal Of Exaudi [Finished]Where stories live. Discover now