Chapter 6

7K 256 14
                                    

Kakek berjuang dengan sangat keras melawan penyakitnya, begitu juga dengan kami yang merawatnya. Ibu yang sebelumnya jarang datang untuk melihat kakek akhirnya selalu menyempatkan dirinya untuk mengunjungi kakek, ibu juga sekaligus memastikan bagaimana keadaanku karena ibu masih belum yakin bahwa aku akan berubah kala itu.

Namun takdir berkata lain, setelah lebih dari satu tahun aku dan nenek bahu membahu mengurus dan merawat kakek, kakek ternyata dipanggil lebih dulu oleh tuhannya. Dan sebelum kematian kakek, aku mengucapkan salam perpisahanku dan menitipkan salamku pada bapak.

Kesedihan tampaknya tidak hanya ditunjukkan oleh keluargaku saja, beberapa pegawai dan tetangga kami juga merasakan kehilangan yang mendalam. Mereka mengatakan bahwa semasa kakek hidup, beliau selalu memberikan kemudahan dalam segala urusan dan dia juga sering menyumbangkan berbagai sembako serta memberi pekerjaan bagi mereka yang pengangguran di tempat ini.

Bisa dikatakan kakek merupakan orang yang cukup terpandang di daerah sini, karena pengabdian beliau di daerah ini yang semula hanya hutan rimba menjadi daerah yang cukup maju dan berkembang seperti ini patut untuk diacungi jempol. Nenek juga yang berprofesi sebagi guru banyak mengantarkan anak muridnya untuk meraih impian mereka, seperti beberapa orang polisi yang turut datang ketika kakek disemayamkan untuk mengucapkan bela sungkawa mereka secara langsung.

Kehilangan orang tua memang sangat sulit dan juga menyedihkan, dapat aku lihat ibu menangis tersedu-sedu melihat mayat kakek yang sedang disemayamkan. Batinku kemudian mengingat kembali rasa pedih ketika aku berada di kuburan bapak pertama kali dan mengetahui bahwa bapak telah tiada, bapak yang kusayangi yang telah pergi untuk selama-lamanya dari dunia ini.

Wajah sedih juga ditunjukkan oleh Ayah, dia seperti ikut menangis ketika ibu juga menangis. Namun di dalam hatiku aku merasa jijik, aku yakin dia pasti senang dengan kematian kakek karena satu dari anggota keluargaku sudah mati dan dia tinggal menyingkirkan aku, ibu dan juga nenek untuk mendapatkan harta dari keluarga kami. Aku yakin dia sedang tertawa dalam tangisnya itu, dan memikirkan itu saja membuat diriku semakin jijik dengannya. Dasar serigala berbulu domba!

Dan orang lain yang juga turut bersedih adalah tiara, gadis itu memang selalu mengejutkan diriku dengan segala kesempurnaannya. Dengan air mata yang berlinang deras dapat aku lihat dia seperti kehilangan orang spesial di hidupnya, dia menangisi kakekku seperti layaknya kakeknya sendiri. Disampingnya ada sepasang suami-istri yang aku duga sebagai orang tua dari tiara, kedua orang tua itu tampak menghibur tiara yang menangis sejadi-jadinya. Dia kemudian memeluk nenek dan mereka menangis bersama.

"Nenek, kakek kita udah pergi nek. Nenek yang sabar ya nek, aku yakin kakek pasti sudah di tempat yang lebih baik" ujar tiara sambil menyeka air matanya dan mengusap air mata nenek.

"Iya nak, iya. Kamu juga jangan nangis lagi ya, kalau kamu menangis nanti nenek juga menangis. Anak manis jangan menangis seperti ini ya, nanti cantiknya hilang. Terima kasih juga kamu sudah mau membantu nenek untuk mengurusi kakekmu selama ini ya, nenek berterima kasih kepada tuhan atas kehadiran kamu di tengah-tengah kami" ucap nenek.

Tiara kemudian mendatangi ibu dan turut mengucap belasungkawa kepada ibu, ibu dengan sigap memeluk tiara dengan erat. Ibu sebenarnya sudah tau banyak tentang tiara berkat diriku yang selalu bercerita tentang wanita itu setiap ibu berkunjung dan menemui tiara sedang berada di rumah, dan ibu tampaknya memang sangat berterima kasih atas kehadiran tiara di tengah-tengah keluarga kecil kami ini.

Setelah menyalami ayah, tiara kemudian datang kepadaku. Dan tanpa sungkan, tiara memeluk diriku dengan penuh emosi layaknya seorang teman yang sudah kehilangan sahabat. Dan dia kemudian berkata, "Aku turut berduka cita udi, maaf aku masih belum bisa membantu kakekmu terlalu banyak".

Journal Of Exaudi [Finished]Where stories live. Discover now