CHAPTER 11

6.8K 334 3
                                    

Afwan kawan... slow update ya?
Semoga ini bisa menebusnya dengan cerita ini 😊😊

💐💐💐💐

Gus Adnan terpaku ditempat, ia mendapati dua orang yang ia kenal lewat istrinya terus menguliti setiap jengkal gerak-geriknya. Ia sangat risih dengan tatapan sinis dengan sesekali interogasi tidak jelas. Ia berada di ruangan Asna, beberapa menit yang lalu dokter sudah mengizinkan pasien boleh dijenguk asalkan tetap kondusif sehingga ketenangan jiwa pasien stabil. Asna masih terkulai lemah diranjang rumah sakit dengan selang dipunggung tangan yang dihubungkan ke infus. Gus Adnan sedikit lega, saat dokter menyatakan keadaan Asna akan membaik karena hanya luka lebam dan sedikit luka sobek didahi. Gus Adnan duduk dikursi samping Asna, ia menggengam jemari itu erat sambil mendoakan kesembuhan istrinya. Sudah tiga jam dari kecelakaan, dan Asna masih belum sadarkan diri.

"Apa lu suka sama Asna?" Tanya Diki sarkas dan dibarengi Haris yang membunuh Gus Adnan dengan tatapannya.

Gus Adnan masih diam.

"Lu nggak lagi main-main sama Asna ya, kan? Lah terus maksudnya tadi apa sama kak syifa?" Sahut Haris menimpali pertanyaan Diki yang belum terjawab.

Gus Adnan masih belum ingin angkat suara, ia berkutat dengan tangan yang sibuk mengusap jemari Asna perlahan.

"Punya mulut buat bicara!" Tukas Diki makin geram.

"Asna itu rela ninggalin kita, demi menjadi wanita sholihah agar bisa ke syurga sama elu. Dan sekarang lu sia-siain cewek setulus Asna?" Tanya Haris yang kini berdiri disebelah Gus Adnan..

"BAJINGAN!"

Diki mendesak maju dan menarik kerah Gus Adnan hingga tubuh itu terbabit ke arah Diki dan hampir hilang keseimbangan. Gus Adnan hanya pasrah tanpa berniat melakukan pembelaan apapun. Ia tak bisa menjelaskan, jika suasana dingin itu hanya akan dianggap angin lalu oleh mereka. Sedetik kemudian, Diki melancarkan aksinya dengan membogem mentah sudut bibir pria berkopyah itu hingga membiru lebam. Haris berdiri menarik tubuh Diki yang masih kesetanan untuk kembali duduk di ruang tunggu. Jemari Asna menahan lengan mereka, setengah sadar. Pupil matanya masih samar belum terfokus benar. Ia sesekali masih mengerjap sembari mengedarkan pandangan ke dinding dan seluruh yang ada diruangan hingga hatinya menyimpulkan ia dirumah sakit -- hal biasa sebab ia cukup sering keluar masuk rumah sakit. Tapi yang membuat ia tercengang adalah wajah kaku dan ditekuk dari setiap yang ia lihat. Sebenarnya, samar-samar ia mendengar percakapan mereka sebelum akhirnya Asna terbangun untuk meminta kepastian kejelasan yang terjadi selama ia pingsan. Memori diotaknya hanya mengingat Kak syifa yang lari tanpa mau bertemu dengannya.

"Adnan, kamu ada apa dengan Diki?" Tanya Asna tanpa dikomando membuat tenggorokan Gus Adnan mengering dan tercekat.

"Hmm.."

"Terus kenapa harus membawa nama kak syifa? Kamu tahu dia masih disini?"

"Tadi," Gus Adnan ragu untuk berterus terang. Qadarullah yang sulit ia ungkapkan bahwa hati tak pernah bisa dipaksakan.

Diki kembali memanas menatap Gus Adnan yang bungkam. Ia gondok bukan main, setengah mati ia tak akan rela sahabatnya dipermainkan dengan cara yang menjijikan. Laki-laki berkedok alim yang menjeumuskan Asna perlahan. Haris menahan lengan Diki dan tanpa mengjiraukan Asna yang masih ditimpa beberapa pertanyaan.

"Aww.." Asna meringkih sakit dibagian kepala saat ia berusaha berfikir keras, rasanya berat.

Gus Adnan memeggangi bahu Asna, lalu membenarkan posisi tidurnya agar lebih nyaman. Asna mengatur nafas dan ia melempar senyum tipis ke arah Gus Adnan pertanda dia baik-baik saja. Astaghfirullah, ia baru teringat dengan janjinya dengan dosen killer. Harusnya sudah dari beberapa jam lalu, Asna bertemu dosen pembimbingnya itu. Asna panik bukan main. Mengundur sidang, tidak jadi di acc, ah mimpi buruk yang tidak ingin ia rasakan. Asna menarik pengan Gus Adnan, tatapannya nanar dan memelas ke arah suaminya yang tampak menggigit bibir menahan rasa nyeri di sudut bibirnya.

"Ehm,, dosennya gimana nan? Aku kan ada janji?" Tanya Asna belingsatan.

"Tenang, udah gue beresin." Haris Memenggal pembicaraan Asna, yang seharusnya jawaban itu keluar dari mulut Gus Adnan.

"Alhamdulillah" ucapnya dengan senyum lega. "Tunggu, kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Kamu tau kak syifa disini, nan?" Tanya Asna kembali menodong Gus Adnan.

"Iya, tadi aku ketemu syifa. Dia jenguk kamu kayaknya.." ujarnya

"Ya Allah, kak syifa disini?" Sahut Asna antusias, "mana,, kok aku nggak lihat?"

"Udah pergi Asna.."

Diki terus saja mengamati gelagat Gus Adnan, ia menekannya dengan tatapan tajam yang tersorot tanpa kedip. Haris tanpa sadar menyaksikan suasana yang mulai memanas, segera menarik keluar Diki. Asna memang harus tahu semuanya, tapi ada waktunya bukan gampang menerima kenyataan pahit seperti ini. Haris mengunci lengan Diki dengan lengannya, ia meraih tas yang kemudian ia gendong.

"Ehm,, na. Kita cabut dulu!" Ujar Haris

"Loh kok.." mulut Diki berhasil dibekap erat oleh jemari Haris hingga tak ada cepah untuk suara itu keluar.

"Biasah Diki obatnya habis. Kita cabut ya, bye." Ucapnya kembali.

"Assalamualaikum?" Kini Asna memberi kode dengan menaikkan alis sebelah, ia tahu sahabatnya belum terbiasa untuk mengucapkannya sekalipun mereka orang islam tulen.

"Eh, waalaikumsalam iya.. maaf lupa." Sahut haris menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lalu pergi menghilang dari balik pintu.

Mereka meninggalkan Gus Adnan dengan Asna, berharap Gus Adnan tidak menutupi hal apapun lagi. Sudah beberapa kamar pasien mereka lewati, hingga berada di koridor paling ujung jauh dari ruangan Asna. Diki mematung dan berhenti, ia yang sedari tadi diam kini berontak dengan membanting lengan Haris ke udara. Ia kesal, Asna harus minta penjelasan dari suaminya yang katanya lulusan kairo itu. Memang perasaan itu tidak bisa dicegah tapi mencintai kakak dari istrinya itu bodoh. Kalau dari awal sungkan mencintai dan menjalin hubungan dengan Asna, harusnya ia tolak. Melanjutkan perjodohan tanpa rasa suka satu sama lain hanya memicu luka tanpa disadari. Diki mendorong tubuh Haris keras.

"Lu kenapa malah pergi? Asna butuh kita.. dodol" tukas Diki sambil menuding Haris

"Lu yang mikir pakai otak dong, lu kira kalo Asna tau semua bakal selesai dan dia ngak bakal kepikiran terus drop?"

Diki menarik nafas kasar, ia mengacak rambut dan duduk di kursi tunggu. Haris masih berdiri dan kini memunggunginya. Mereka sudah seperti saudara, Haris tau Diki berniat baik. Ia juga ingin Asna bahagia. Tapi bukan saat ini yang tepat.

"Ia kalau Asna tambah sehat dan ninggalin Agus. Lah kalau malah sakit dan kenapa-napa? Mikir!" Kini Haris yang balik menuding Diki.

"Oke, biar si Agus bilang sendiri. Gue rasa ini akan jauh lebih baik kalau Asna tahu dari orangnya sendiri."

Tiba-tiba mereka dihampiri Gus Adnan yang terlihat dari ujung koridor, ia tampak menunduk dan setengah berlari. Ia laki-laki tapi iris matanya tampak mengembun dan memanas. Diki beranjak dan menepuk bahu Haris menunjuk ke arah Gus Adnan.

"Saya bakal balik ke pondok. Titip Asna. Dia berhak bahagia. Saya hanya sumber luka baginya.. saya bisa kasar jika saya mau karena saya tidak cinta. Maka dari itu sebelum itu terjadi saya pergi."

💐💐💐💐💐

Yah... Kok gini?
Hehe.. hidup ngga selamanya seneng. Ada susah sedih kecewa seneng. Dan nggak ada manusia yang sempurna.

Jazakumullah katsiran

Jodoh Dalam DoaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon