CHAPTER 14

5.9K 312 1
                                    

Kepala gadis berjilbab pink peach itu masih terasa berdenyut kencang. Berat sekali dan sakit. Seperti dipukul memakai palu godam berkali-kali yang berhasil membuat Asna hanya duduk di ranjang rumah sakit seharian. Hari ini katanya, ia sudah boleh pulang. Katanya, dua sahabatnya itu akan mengurus semuanya termasuk administrasi. Haris yang membayari biayanya kali ini, bukan maksud Asna ingin meminta tapi kata cowok itu ia sedang ketiban durian runtuh. Sawah keluarganya didesa terkena jalan tol dan alhasil ia kecipratan uang hasil penjualan sawah beberapa hektar. Ya, syukurlah setidaknya kepala Asna tidak tambah pusing karna harus berfikir membayar biaya ia menginap berhari-hari di rumah sakit. Tidak mungkin lagi dan lagi ia menelfon orangtuanya dan membebani uang begitu saja. Asna agaknya mulai suntuk berdiam diri sejak tadi pagi tanpa melakukan aktivitas yang berarti, hanya duduk, makan, dan istirahat. Asna mulai beranjak berjalan ke arah jendela, beberapa kenangan datang bersama hilir mudik angin yang berkeliaran.

"Eumm.." gumamnya sambil merogoh sesuatu di saku gamisnya. Digenggamnya erat sebuah kertas berwarna dasar biru dan tinta hitam. Sebuah tiket yang sudah sedikit kucel.

Aku dan Gus Adnan hanya kisah lama. Tak pantas diungkit. Apalagi sekarang kamu lebih berhak atasnya daripada kakak. Wajar, bila Gus Adnan masih menyimpan rasa karna move on itu butuh proses. Luka itu butuh obat untuk sembuh. Dan obat juga harus ada setiap waktu, obatnya adalah kamu. Turunin sedikit egonya, na. Pergi ke jatim, tunjukkan kamu cinta. Kalo kamu tidak bisa jadi fatimah yang diam dalam doa, kamu bisa jadi seperti khadijah yang berani bertindak. Tidak salah. Afwan, untuk kemarin-kemarin. Kakak sudah belajar banyak hal. Jazakillah Asna sayang

Kata-kata itu masih bergelayut mesra diotaknya. Sebelum kemarin Asna memberontak dan mendorong kakaknya pergi keluar. Kak syifa sempat mengucapkannya samar terdengar sebelum akhirnya hilang dibalik pintu kamar. Asna yang dirundung kecewa teramat dalam buta akan kebenaran yang diujarkan kakaknya. Hati kecilnya tak percaya jika kakaknya itu sudah berpindah ke lain hati secepat itu. Helaan nafas panjang melengos beradu dengan oksigen diudara. Hiruk pikuk jalanan terlihat dari tempat Asna duduk, beberapa orang mulai lalu lalang dengan kepentingannya masing-masing.

Dorrr

Hampir saja Asna melorot jantungnya. Suara bass itu terdengar jelas menembus gendang telinganya hingga mungkin bergetar. Untung saja  riwayat sakitnya hanya maag akut tidak ada jantungan, bisa tinggal nama kalau seperti tadi kejadiannya. Asna melengos ke sumber suara dan sesuai dugaannya dua upin ipin nyengir kuda dibelakangnya. Mereka menyadari kalau pupil mata Asna membesar dan wanita itu mulai pasang badan.

"Ahilah, na. Canda galak amat. Amat aja  kagak galak ya ris?" Ujar diki sekenanya

"Elu sih. Entar kalo si asna qoit gimana?"

Diki menggetok kepala Haris dengan ponselnya, "ah, gue getok juga nii pala. Kalau ngomong suka gitu. Gue dimarahin agus dong entar gak bisa jagain incesnya." Kali ini Asna mulai muak karna berbicara dengan mereka hanya membuat kepala serasa pecah. Apalagi kosa  katanya yang bisa dibilang alay membuat Asna ogah menyambungnya.

Diki meraih tas gendong diatas nakas, milik Asna. "Ayo, na pulang. Lo pikir ini hotel main nginep seenak jidat. Si haris   noh disini demen banget soalnya susternya bisa buat cuci mata." Ceplos diki.

"Istighfar gak? Itu mulutnya dijaga diki."

Diki langsung memeluk haris mendramatisir suasana, "astaghfirullahaladzim ya Allah maafin kita yaa.. kita khilaf. Benerandeh, kalo aku bohong haris berani disamber geledek." Ujar diki lagi membuat Asna mulai terkekeh geli.

Jodoh Dalam DoaWhere stories live. Discover now