CHAPTER 32

2.5K 166 17
                                    

"memilih untuk tidak memilih bukanlah suatu pilihan."

-rafzyanrm-

-------------------


"Seharusnya itu berjuang berdua. Aku ngga pernah bisa mempertahankan kita menjadi kita. Kalau hanya aku yang ingin, kamu tidak."

Suara itu makin hingar bingar memenuhi isi kepala Gus Adnan. Ia ingat perkataan itu, kata yang terlontar sarkas dari mulut gadis yang dinikahinya tanpa cinta. Mata sayu sendu miliknya terus mengerjap menahan semuanya sendiri tanpa ia tahu. Mungkin, Ia yang salah. Selalu berambisi dalam hal yang salah.

"Terlalu mencintaimu ternyata salah. Aku mati ditikam rasaku sendiri." Ujar Gus Adnan mengusap rambut Asna yang terlelap disampingnya.

"Tapi untuk biasa saja mencintaimu. Atau bahkan tidak mencintaimu. Aku menyerah. Aku sudah terjebak dengan rasa nyaman tanpa alasan."

Gus Adnan menyingkap rambut Asna yang tergerai indah menutupi separuh wajahnya. Sebentar lagi adzan subuh berkumandang. Ia harusnya bergegas pergi ke masjid. Hari ini jatah bergilir menjadi imam masjid, ini gilirannya. Tapi ia masih bersandar di ranjang. Gus Adnan berseteru dengan fikirannya sendiri.

"Bagaimana bisa aku meminta kepada ayahmu untuk meminangmu, kalo akhirnya kamu hanya akan aku sakiti." Gumamnya gemetar dengan ujung matanya menyipit menahan air mata yang hampir menetes jatuh.

  Ternyata ia terjebak dengan perasaannya sendiri, hal yang ia anggap pelampiasan. Kini mengikatnya erat sampai ia sulit berfikir panjang. Seolah hidup ini hanya soal kebahagiaan Asna. Tapi ia sama sekali tidak mengerti arti bahagia bagi istrinya. Pemikiran mereka selalu berseberang. Monster berkedok baik, misalnya.

Allahu Akbar,, Allahu Akbar,,

   Gus Adnan menghapus ujung matanya, ia bergegas beranjak untuk pergi ke masjid. Ia tidak mau keluh kesahnya tadi sampai terdengar di daun telinga Asna. Wanita itu sudah cukup payah dibuatnya, selama ini. Semua yang memang seharusnya, tidak pernah benar-benar menjadi nyata. Gus Adnan membenarkan sarungnya, dan mengambil peci hitam miliknya diatas nakas kecil samping ranjang.

"Tunggu."

Langkahnya terhenti, dengan suara memekik kecil serak ia melirik ke arah kasur. Asna menahan lengannya erat. Matanya berkaca-kaca menatapnya nanar. Tepat didepan retina matanya, wanita itu menangis terisak tanpa sebab. Gus Adnan menarik tubuh Asna dan memeluknya erat, menepuk punggung Asna lembut membiarkan Asna menenggelamkan wajahnya dipundaknya sesaat. Kali ini, ia bisa merasakan wanita itu menggenggam erat tangannya dan sesekali sesenggukan.

"Kamu kenapa,cerita?" Ujar Gus Adnan menarik tubuh Asna dan menatapnya lembut.

"Aku nggak pernah merasa tersakiti sama kamu. Sama sekali. Sekalipun kamu dingin seperti es balok. Jangan berubah ya. Kamu sudah jadi suami yang baik kok." Ujarnya lirih.

"Kamu denger semuanya?"

"Aku nggak tidur semalaman. Mau belajar bersama untuk saling mencintai?" Tanya nya kembali.

Gus Adnan mengelus rambut Asna pelan, "bahkan tanpa kamu minta aku sudah belajar semuanya, semampuku. Tapi maaf selalu belum bisa membahagiakanmu." Ujar Gus Adnan menimpali.

"Cukup disampingku udah bahagia kok."

Gus Adnan mencubit pipi Asna gemas dan menggelitiknya, "ah, bucin nih cewek yah." Godanya.

"Ish, nggak bisa diajak serius yah."

   Tiba-tiba pintu kamar mereka diketok cukup keras. Membuat mereka terlonjak kaget. Abi dan umi jarang sekali mengetuk pintu apalagi subuh-subuh begini. Mengusik perasaan mereka yang akhirnya memilih bangkit. Gus Adnan mengambilkan Khimar Asna, sebelum membuka pintu. Gus Adnan berdiri tepat didepan Asna, membuka kunci pintu berukiran kayu tanpa tirai.

Jodoh Dalam DoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang