Part 09

46.1K 6.8K 358
                                    


___

Shareen berjalan di belakang Kenzie dengan senyum semringah. Ajakan Kenzie hari ini membuat pikiran tentang kapan dia bisa pulang terlupakan sejenak di benaknya. Kenzie sudah mengajaknya ke mana-mana: ke toko pakaian, ke restoran, lalu dia diajak ke bioskop dan menonton dua film malam ini.

"Kenzie!" teriak Shareen tanpa peduli dengan orang-orang di sekitarnya yang juga baru saja keluar dari bioskop. Dia berlari kecil dan memeluk lengan Kenzie cepat saat langkahnya sejajar dengan cowok itu. "Filmnya seru banget! Kapan-kapan kita ke sini lagi, ya?"

Pertanyaannya sama sekali tidak digubris oleh Kenzie. Cowok itu melangkah lebar hingga pelukan Shareen terlepas dari lengannya. Shareen terkekeh. Dia melompat sambil berlari mengejar si cowok penyelamatnya itu.

"Kenzie!" teriak Shareen lagi dengan wajah riang. "Waktu pemain dalam film itu ngejar pesawat yang mau terbang itu seru banget! Bikin aku kaget. Ingat nggak tadi? Yang aku meluk tangan kamu saking gregetnya. Maaf, yaaa! Oh, iya! Adegan favorit kamu yang mana? Kalau aku, yang di pesawat! Itu seru banget! Hampir jatuh! Bikin deg-degan!"

Kenzie masih terus melangkah lebar di parkiran mencari mobilnya tanpa peduli dengan Shareen yang masih mencoba menyejajarkan langkah.

"Kenzie! Kenzie!" teriak Shareen di tengah keheningan basemant. "Aku laper...."

Melihat tak ada respons dari Kenzie, Shareen hanya bisa meringis. Dia menggaruk daun telinganya yang tidak gatal. Wajah Shareen tiba-tiba murung dan langkahnya tak secepat tadi. Dia tidak tahu ada apa dengan cowok itu. Terkadang Kenzie kelihatan peduli, terkadang cowok itu menatapnya dengan pandangan marah.

Saat Shareen sudah tak semangat untuk melangkah seperti tadi, tiba-tiba saja Kenzie berbalik dan menatapnya jauh di depan sana.

"Lelet banget, sih, lo. Cepetan! Lo tahu dari tadi apa yang lo lakuin? Lo cuma bisa ngerepotin orang."

DEG

Kata-kata itu menghantam tepat ke ulu hatinya. Sakit. Shareen mengangguk kepada Kenzie yang langsung berbalik dan kembali melanjutkan langkah. Mata Shareen berkaca-kaca. Air matanya siap tumpah, tapi segera dia tahan. Dia hanya mampu melangkah dengan kedua kakinya yang terasa lunglai.

Saat Kenzie sudah tiba di mobilnya, dia berbalik menatap Shareen kembali. Shareen hanya mampu menunduk dan meremas dressnya dari samping. Dia tak mau melihat wajah Kenzie yang bisa saja akan menatapnya dengan pandangan marah, dan akan berujung membuat Shareen sakit hati.

Shareen segera masuk saat dilihatnya cowok itu membuka pintu penumpang di samping kemudi. Tanpa mengatakan apa-apa, Kenzie menutup pintu mobil dan segera masuk di pintu lain.

Mobil itu mulai melaju. Kenzie mengarahkannya keluar dari basemant. Shareen menunduk dalam diam dengan mata berkaca-kaca dan pikirannya tidak tenang. Bibirnya bergetar sembari tangannya meremas ujung dressnya.

Satu isakan refleks keluar. Shareen segera membungkam bibir meski air matanya tak bisa lagi dia bendung. Lewat ekor matanya, Shareen bisa melihat bahwa Kenzie langsung menatapnya dari samping.

"Lo kenapa?"

Pertanyaan itu keluar cepat dari bibir Kenzie, membuat Shareen kembali mengeluarkan satu isakan yang kemudian tak bisa dia tahan lagi. Isakan itu keluar begitu saja. Terus menerus. Shareen melihat mobil yang Kenzie kendarai menepi, lalu berhenti di depan toko untuk sekadar parkir.

"Lo ... kenapa?

Dengan mata yang dipenuhi air mata, Shareen menoleh kepada Kenzie.

"Kamu kenapa suka marah-marah?" tanya Shareen dengan suara pelan. Dia kemudian menunduk kembali, tak ingin memandang wajah Kenzie yang juga sedang menatapnya.

"Kalau aku ngerepotin, bilang aja. Kalau aku cuma ganggu kehidupan kamu, aku bisa kok... pergi dari rumah kamu sekarang," kata Shareen dengan berat hati.

Sebenarnya dia tidak ingin mengatakan itu. Jika Kenzie mengiakannya untuk pergi, lalu dia harus ke mana setelahnya? Siapa yang akan menolongnya? Harapannya saat ini memang hanyalah Kenzie, tetapi mengapa cowok itu selalu terlihat tak ikhlas membantunya?

"Bawa aku ke halte. Nggak usah kembali ke rumah kamu," lanjut Shareen dengan bibir bergetar. Mungkin, Kenzie bukan orang yang tepat, lanjutnya dalam hati.

"Gue ada salah ngomong tadi? Yang nyakitin hati lo?"

Pertanyaan dari Kenzie membuat isakan Shareen makin keras dan tersendat-sendat.

Shareen menunggu apa yang selanjutnya akan Kenzie katakan. Akan tetapi, tak ada tanda-tanda cowok itu akan berbicara. Shareen juga tak berani untuk sekadar menoleh sesaat.

Apa karena Kenzie masih anggap aku bicara bohong? tanya Shareen dalam hati.

"Terserah kamu mau bilang aku bohong. Terserah kamu mau bilang aku ngomong hal yang nggak masuk akal. Terserah. Kenyataannya, aku juga nggak mau ada di sini. Seandainya bisa, aku mau kembali detik ini juga." Shareen menutup bibirnya, berusaha meredam tangis meski gagal. "Kalau dari awal aku ingat rumah Papa, aku akan balik ke sana. Tapi, di pikiran atau ingatan aku, sama sekali nggak ada pencerahan buat ke sana. Nggak ada sama sekali. Aku seolah lupa ingatan soal itu. Aku rasanya frustrasi cuma mikirin di mana letak rumah Papa. Aku nangis mikir di mana rumah Papa saat ini. Aku nggak tahu letaknya. Bener-bener nggak tahu."

Kenzie masih diam.

"Aku lupa letak rumah. Aku lupa SMA aku di mana. Aku lupa banyak hal. Yang aku ingat sebelum aku terjebak di tahun ini, kelender di rumah itu kelender 2022. Bulan Februari. Terakhir aku ada di dalam kotak yang papa sebut mesin waktu, yang awalnya juga aku nggak percaya itu mesin yang bisa bawa kita ke manapun kita mau. Setelah aku masuk ke sana, semuanya terasa hilang. Aku tiba-tiba bangun di halte dengan pakaian yang sama aku pakai sebelum masuk ke mesin itu."

Tangis Shareen makin pecah. Dia terisak-isak saat pandangannya tertuju kepada Kenzie. "Aku mau pulang dan nggak mau ada di sini. Aku kangen Papa. Aku bener-bener mau pulang...."

***


thanks for reading!

love,

sirhayani


Can I Meet You Again?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang