l i m a

30 7 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tapi cahaya matahari masih terhalang awan hitam besar di atas sana. Hari mendung di akhir pekan memanglah waktu yang sangat pas untuk tiduran di kasur sambil menonton anime, tapi Reihan tidak bisa fokus melakukannya kali ini.

Pikirannya berada di tempat lain.

Saat ini Reina berada di luar rumah, dan berkemungkinan akan terkena hujan saat diperjalanan pulang. Reihan tidak terlalu khawatir jika itu orang lain, tapi yang menjadi objeknya kali ini adalah Reina.

Reihan yakin Reina tidak membawa payung saat pergi tadi, dan jika ia terkena hujan nantinya, Reina tidak akan mau ambil pusing untuk memilih tempat berteduh. Gadis itu pasti akan memilih berjalan di tengah hujan seperti anak kecil; kecuali fakta kalau dia tak akan lari-larian sambil tertawa seperti salah satu bagian dari mereka.

Reihan sedikit mengeluh dengan sifat Reina yang satu itu. Terakhir kali ia bertanya mengapa memilih hujan-hujanan daripada berteduh adalah karena berteduh terlalu merepotkan dan ia malas bersinggah di suatu tempat. Ia tidak akan memedulikan pandangan orang lain. Di saat orang lain mencari tempat teduh secepatnya, Reina akan menerobos hujan dengan wajah datar.

Hah … benar-benar. Reihan tak habis pikir.

Untungnya, ketahanan tubuh Reina sudah terlatih, jadi hanya dengan kehujanan tidak akan membuat Reina jatuh sakit.
Bahkan dulu saat mereka masih kecil, jika mereka mandi hujan bersama, Reina lah yang akan menjenguk Reihan.

Kali ini pemuda itu menggerutu. Dulu ketahanan tubuhnya terhadap hujan sangat payah, dan Reina selalu mengejeknya karena itu.

Reihan kembali melihat ke arah langit sembari mengeluarkan helaan panjang. Sayangnya kali ini bukan kekhawatiran karena hujan saja, tapi ada sesuatu yang lebih besar dari itu.

Suara petir menghancurkan lamunannya.
Reihan mendecak. Merasakan adrenalin berpacu lebuh cepat, ia menutup laptopnya lalu beranjak dari kasur.

Tidak perlu menelpon untuk tahu di mana Reina saat ini. Dia berada di tempat yang sama setiap hari ini datang. Setiap tanggal 12 Oktober.

Sudah tiga tahun sejak hal itu terjadi. Tapi, luka yang tertoreh dihati Reina mungkin belumlah sembuh.

Luka yang didapat karena ditinggal oleh kedua orang tuanya akibat kecelakaan.
Reihan mengambil payung lalu berlari keluar rumah. Komplek pemakaman tempat orang tua Reina berada hanya beberapa blok dari rumah mereka.
Biasanya Reina akan mengunjungi makam itu setiap hari peringatannya, dari pagi dan baru pulang saat waktunya jam makan siang.

Tapi jika Reihan hanya menunggu, mungkin Reina akan pulang dalam keadaan basah kuyup.

Tanpa sadar Reihan berlari lebih cepat. Daripada mengkhawatirkan Reina yang akan pulang basah kuyup, Reihan lebih khawatir dengan keadaan hati Reina.
Tiga tahun lalu, tepat dihari ulang tahun Reina, orang tuanya mengalami kecelakaan. Inilah salah satu alasan terbesar mengapa Reina jadi berubah.

Sejak itu, ia bukan lagi Reina yang ceria—melainkan Reina yang selalu menyembunyikan perasaannya.

Reihan berhenti berlari ketika sosok yang ia cari berada dalam jarak pandang.
Hujan sudah dengan deras mengguyur tempat ini, tapi gadis itu masih tetap diam mematung di depan sebuah makam.

Dada Reihan ikut sesak saat melihat sahabat sejak kecilnya itu. Sekuat apapun Reina, dia tetaplah perempuan. Ia juga bisa tersakiti oleh luka lama, dan bodohnya Reihan tidak tahu harus melakukan apa untuk menolongnya.

Reihan berjalan dengan langkah yang lebih pelan sekarang. Membuka payung yang ia bawa saat tubuh gadis itu tepat berada di sampingnya. Reina sama sekali tidak bereaksi. Ia hanya menatap makam yang ada di depannya hampa, tanpa bersuara. Sekali lagi dada Reihan terasa sesak.

"Rei, tidak baik jika kamu kehujanan, nanti sakit."

Hanya suara hujan turun yang membalas. Mata itu masih terpaku pada makam dengan nama 'Kalisa Priyani', makam ibu Reina.

Reina menutup mata untuk beberapa saat, ketika kembali membuka mata dia menghembuskan napasnya.

"Kamu tidak mau berdoa untuk mereka?" Akhirnya Reina buka suara.

Reihan tersenyum sesaat. Kini ia juga menatap makam kedua orang tua Reina yang diletakkan berdampingan.
Ia menutup mata lalu berdoa untuk mereka.

Di saat seperti ini, Reihan sering teringat kenangan mereka. Orang tua Reina bagaikan orang tua kedua bagi Reihan.
Mereka memperlakukan Reihan seperti layaknya orang tua kepada anaknya.
Jika Reihan saja merasakan rasa rindu dan sedih seperti ini, bagaimana perasaan Reina?

Sayangnya Reihan tidak bisa mengetahui hal itu karna Reina selalu menutupinya dengan wajah datar.

Reihan merasa tidak berdaya. Seharusnya ia ada untuk membantu Reina bangkit dari keterpurukan, tapi sekarang ia malah kelihatan lebih bersedih daripada Reina.

Reihan kembali tersenyum getir. Dasar payah.

"Kamu tidak mau mengunjungi makamnya?"

Pertanyaan Reina membuat Reihan membeku. Cukup lama, mereka berdua hanya terdiam dalam hening. Hanya suara gemuruh di atas langitlah yang terdengar.


"Ba-bagaimana denganmu?" tanya Reihan dengan tergagap. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini hingga ia bersikap seperti itu.

Reina kembali menutup mata lalu menghela napas. "Aku sudah. Pergilah jika kamu ingin mengunjunginya. Aku duluan."

Reina pergi tanpa menoleh ataupun mengatakan sesuatu lagi, sedangkan Reihan masih berdiri di sana dengan mata yang terpaku pada makam yang berada cukup dekat dengannya.


Bukan makam ibu ataupun ayah Reina. Melainkan sebuah makam yang dapat membuat hatinya seperti teriris-sakit, hanya dengan melihatnya.

Sebuah makam yang bukan hanya mengubur seseorang di sana, tapi juga mengubur setengah dari kebahagiaannya.
Reihan terdiam, tapi kemudian berbalik dengan cepat. Ia berlari menghampiri Reina yang sudah berjalan cukup jauh.

Reihan dengan cepat memayungi tubuh Reina. Meski rasanya sudah tidak berguna lagi. Gadis itu sudah basah kuyup.

Reina memberinya tatapan bingung, seakan tak percaya Reihan lebih memilih menghampirinya.

"Kenapa—"

"Kamu bisa sakit kalau begini terus, Rei."

"Reihan!—"

"Reina. Ini bukan berarti aku melupakannya." Reihan tersenyum kecut. Matanya yang biasa berkilat menyenangkan berubah sendu. Reina terdiam. "Paling tidak, biarkan aku menjagamu. Orang yang paling dia sayangi."

Reina tak bisa mengeluarkan satu katapun dari mulutnya. Lidahnya kelu. Ia beradu tatap dengan wajah itu. Reihan membiarkannya berada di bawah payung sedangkan rintikan hujan sudah membuat pemuda itu basah kuyup. Reina menghela napas. Tangannya membenarkan posisi payung sehingga mereka berdua bisa terhindar dari basah yang lebih parah.

"Ayo kita pulang."

Reihan mengangguk mantap. Inilah jalan yang ia pilih. Karena kini ia menyadari, sesuatu yang sudah terkubur tidak lagi bisa digali. Dan yang sudah mati tidak lagi bisa kembali. Daripada menyesali yang sudah berlalu, Reihan memilih menjaga sesuatu yang masih bisa ia raih. []

Step ForwardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang