t u j u h b e l a s

19 8 0
                                    

Minggu itu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi saat Reina mengangkat segala peralatan pembersihnya lalu berjalan menyusuri ruang tengah. Di ujung ruangan itu ia berbelok ke kanan, dan memasuki sebuah tempat kecil mirip gudang yang dipakai sebagai tempat penyimpanan.

Tangannya meletakkan setiap alat kebersihan itu di tempatnya lalu kembali melihat ke ruang tengah dengan sebuah embusan napas puas. Dengan usaha cukup keras, ia berhasil membuat seluruh bagian dalam rumah bersih dan rapi meski seorang diri.

Namun Reina tidak berhenti sampai di situ saja. Kakinya kembali melangkah dan membawa Reina menuju halaman belakang. Mengambil sapu di gudang kecil yang berada di samping pohon besar, lalu menyapu daun jatuh yang tersebar di sana. Ia juga mencabut rumput liar yang tumbuh lebat dan mengumpulkannya dalam satu kantong plastik besar sebelum membuangnya.

Inilah keseharian Reina di hari Minggu. Setelah enam hari penuh disibukkan dengan semua kegiatan belajar dan mengajar, ia akan menyempatkan diri untuk berkecimpung langsung membersihkan rumah ini sampai sela terkecil.

Reina hanya tinggal sendiri. Jika bukan dirinya, sudah pasti rumah ini akan terlihat seperti rumah tak berpenghuni. Meskipun melelahkan, tapi bisa menggerakkan tubuh paling tidak sekali minggu merupakan ide yang tidak terlalu buruk. Lagipun, ini salah satu tempat bersemayamnya banyak kenangan indah masa kecilnya. Ia sama sekali tidak keberatan mengerahkan tenaganya agar bisa menjaga kenangan ini tetap dapat dilihat olehnya.

Reina sudah menyelesaikan acara bersih-bersihnya. Namun, ia tak segera beranjak. Ia terdiam di depan sebuah Pohon Kersen yang kini sedang berbuah merah kecil di banyak tempat dan memiliki tinggi lebih dari empat meter. Ia mendekat, lalu membungkukkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas pada ukiran yang terdapat di batang pohon itu.

Reina & Reihan.

Dengan tulisan sedikit kusut khas anak kecil, Reina bisa melihat namanya dan Reihan terpajang di sana. Dulu waktu mereka berumur enam atau tujuh tahun, Reina pernah menangis karena sesuatu. Reihan menenangkannya dengan mengatakan bahwa dia akan selalu berada di samping Reina. Dan sebagai sebuah janji, mereka mengukir nama masing-masing di pohon itu. Pohon yang menjadi tempat mereka berkumpul waktu kecil dulu.

Sadar atau tidak, Reina telah menarik sedikit sudut bibirnya.

Benar kata orang. Ketika kau beranjak dewasa, kenangan waktu kecil akan menjadi sesuatu yang sangat manis, dan membuat rindu.

Andai ... Reina bisa kembali ke masa itu.

Mencoba mengusir semua pemikiran bodoh itu, Reina menggeleng lalu menghela napas panjang. Kenangan itu menyenangkan, namun ia tahu hal sama tidak akan terjadi dua kali. Tidak ada gunanya berharap hal yang mustahil. Mungkin hal yang penting sekarang adalah mencari kenangan indah lainnya, dan terus hidup.

Karena melamun, Reina tidak menyadari seorang wanita tengah mendekat padanya. Ketika mereka hanya berjarak beberapa langkah, wanita itu tersenyum jahil dan bersiap dengan sebuah kejutan dan menepuk pundak Reina, "Hayo, ngelamunin apa kamu?"

Sayangnya reaksi Reina tidak seperti yang diharapkan. Reina hanya menatap datar wanita itu lalu tersenyum kecil, "Halo, Tante Maura."

Maura memberengut. Reina kurang ekspresif seperti biasa. Namun, entah bagaimana hal itu membuatnya jadi semakin menggemaskan di matanya. Wanita itu kembali tersenyum sebelum akhirnya memandang sekitar halaman. Baru kemarin banyak rumput dan daun jatuh di sini. Namun dalam satu hari, Reina telah menyulapnya menjadi bersih seperti sekarang. Reina ini memang rajin, ya.

Menghela napas ketika menyadari sesuatu, Maura berdiri sambil menyilangkan tangan di depan dada. Andai saja Reihan serajin ini, pikirnya. Maura terdiam lama lalu ia menepuk tangan sendiri. Ia menatap Reina dengan tatapan berharap lalu memegang bahu gadis itu. "Setelah ini kamu ada kegiatan apa, Rei?"

Step ForwardWhere stories live. Discover now