e m p a t b e l a s

25 8 0
                                    

Dina terus mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Ia abaikan rasa tidak enak yang tiba-tiba muncul. Saat ini, yang perlu ia lakukan hanyalah fokus. Dina harus menemukan laki-laki itu segera.

Kemarin, Dina mendapat informasi tentang pria itu. Pria yang sudah dua tahun ini meninggalkannya dan lari dari masalah. Melupakan janji mereka, dan malah memilih jalan yang benar-benar salah.

Rasanya kesal karena pada akhirnya laki-laki itu memilih jalan ini. Tapi karena itulah dia harus ke sana. Untuk menyelamatkannya. Sebelum hal yang lebih buruk terjadi.

Dina menurunkan kecepatan lalu berhenti di daerah terpencil yang dipenuhi bangunan beton terbengkalai. Kakinya melangkah masuk ke dalam sembari matanya memandang liar. Tak ia pedulikan bau asap tambakau yang menguar, atau banyak pasang mata sedang memperhatikan dari balik gelapnya bangunan beton. Sudah pasti tempat ini menjadi sarang mereka.

Lihat saja botol-botol bekas minuman di tanah, Dina bisa membayangkan malam kemarin mereka semua sedang berpesta dengan bodohnya. Tak peduli bagaimana pun bahayanya minuman campuran yang dapat membuat halusinasi melambung tinggi itu dapat membuat nyawa mereka juga bisa ikut melayang bersamanya.

Ia terus mencari sambil bergumam lirih, "Mau sampai kapan kamu bersembunyi, bodoh?"

Dina kembali melihat ke arah kertas yang menunjukkan nama jalan dan ciri-ciri bangunan yang ia cari. Setelah beberapa kali mengedarkan pandangan, matanya terfokus sebuah bangunan beton dua tingkat yang tidak terpakai lagi. Atapnya berkarat, cat bangunannya sudah sangat pudar. Dan di sekitarnya, dipenuh sampah berserakan.

Bau tembakau dan aroma menyengat lainnya saling membaur menjadi satu. Gadis itu bahkan tak tahu lagi aroma ini berasal dari apa saja. Ia abaikan bau itu dan memukul pintu besi di depannya beberapa kali.

Berbeda dari tadi, di sekitar sini Dina tidak merasakan keberadaan orang lain. Sepertinya mereka masih ada di dalam bangunan terbuang itu. Masih belum sepenuhnya sadar setelah pesta.

Tidak ada balasan. Dina kembali memukul pintu besi itu dengan lebih keras. Dina menggigit bibirnya saat masih tak mendapatkan respon apa pun. Dia mendecak, kakinya bersiap dan segera melayangkan sebuah tendangan.

"DAFA! KAU ADA DI DALAM, KAN? CEPAT KELUAR!!" Dina berteriak hingga tenggorokannya terasa sakit. Dengan sengaja membawa keributan agar orang itu keluar dari tempat ini.

Dina mundur selangkah saat pintu besi itu akhirnya terbuka sedikit. Pria yang membuka pintu tak sepenuhnya keluar dan hanya menampilkan wajah yang kusut dan masih sedikit teler. "Bangs*t. Berani-beraninya buat keributan di sini. Pergilah sebelum orang-orang itu bangun, apa kau ingin menyerahkan tubuhmu pada mereka?"

"Aku sedang mencari Dafa! Cepat panggil dia keluar! Dia ada di sini, kan?"

Dina berusaha melongok ke dalam bangunan, dapat dilihatnya beberapa orang terdampar di lantai dengan botol-botol kaca berserakan. Tapi ia tidak melihat sosok laki-laki yang ia cari.

Pria di depannya mendecak, "Tidak ada orang bernama Dafa di sini. Cepatlah pergi! Ini bukan tempat bermain anak kecil!!" Lalu tanpa memberi kesempatan Dina untuk kembali berbicara, pria itu menutup kembali pintunya.

Dina langsung terdiam. Ia yakin Dafa ada di sana. Di balik pintu ini. Sudah saatnya pecundang itu menampakkan diri. Mengapa ia masih tidak mau keluar? Berapa lama lagi yang ia butuhkan untuk keluar dari rasa sakitnya? Sampai kapan orang itu ingin lari dari kenyataan?

"Kakak bodoh ... sampai kapan kau ingin hidup menyedihkan begini?" Dina menggeram, ia tak segera menyerah dan pulang ke rumah. Tidak bisa. Dafa adalah satu-satunya keluarga yang Dina punya saat ini.

Step ForwardWhere stories live. Discover now