e n a m

32 8 2
                                    

Saat ini, Reina sedang berjalan menuju Perpustakaan Kampus. Kuliahnya baru saja selesai, tapi ia harus menunggu Reihan dulu untuk bisa pulang ke rumah, dan perpustakaan adalah tempat yang dipilihnya untuk menunggu.

Saat ini dia sendirian. Dina terpaksa pulang duluan karena ada urusan—entah apa, dia tidak menjelaskannya dan langsung pergi setelah dosen keluar dari kelas tadi. Padahal, biasanya gadis tomboi itu akan mengekori Reina ke mana pun ia pergi. Mau tak mau, Reina jadi kepikiran. Semoga saja tidak ada hal buruk yang terjadi pada temannya itu.

Pergerakan Reina terhenti ketika melihat orang-orang ramai berkumpul dan saling berbisik. Di detik berikutnya, Reina bisa mendengar suara teriakan seorang perempuan tepat di pusat gerombolan itu. Ia hampir saja melewati gerombolan itu begitu saja karena tidak peduli, tapi terhenti ketika mendengar sebuah makian dengan suara sangat keras.

"Dasar tidak berguna! Sampah sepertimu tidak pantas untuk hidup!"

Entah karena terdorong rasa apa, Reina dengan cepat masuk dalam gerombolan. Matanya menangkap akan terjadinya sebuah insiden dan dengan cepat menahan sebuah tangan yang ingin menampar seorang gadis.

Reina melirik gadis yang hampir terkena tampar itu, kini ia sedang tertunduk sambil menangis sesenggukan. Matanya lalu beralih pada gadis yang ia tahan tangannya. Gadis itu sedang menatap benci ke arahnya—mungkin karena ia menginterupsi apa yang akan dilakukan gadis itu.

Sebenarnya Reina tidak suka ikut campur urusan orang, apalagi orang yang sudah pasti tidak ia kenal. Namun urusannya tentu berbeda jika salah satu dari mereka memakai kekerasan. Apapun masalahnya, memakai kekerasan bukanlah jawaban. Begitulah menurutnya. Tapi tidak begitu sepertinya bagi gadis yang langsung menepis tangannya kasar itu. Mata mereka beradu, yang dapat Reina lihat hanya ada kebencian di sana.

"Siapa kamu? Tolong jangan campuri urusanku!"

Ah, sekarang Reina lah yang menjadi pusat perhatian. Padahal ia sama sekali tidak menyukai ini, tapi mau bagaimana lagi? Jika tidak dihentikan tadi, rasanya gadis di belakangnya itu akan terluka. Apalagi gadis di hadapannya kelihatan sudah kehilangan akal rasionalnya untuk sesaat.

"Kalau kamu tidak mau urusanmu dicampuri, mengapa membuat keributan di tempat yang banyak orangnya? Sebenarnya kamu sangat ingin urusanmu dicampuri 'kan?"

Balasan pedas dari Reina membuat gadis itu membulatkan mata tidak percaya. Dengan seluruh kekuatannya, ia menampar pipi kanan Reina cepat—tanpa bisa ia hindari. Perbuatan itu membuat semua orang di sekitar mereka terdiam.

Beberapa dari mereka dengan sigap menengahi—meskipun rasanya sudah terlambat sekali. Kenapa mereka tak menengahi saat si perempuan ingin memukul gadis di belakangnya? Well, tidak ada untungnya memikirkan itu sekarang. Reina hanya terdiam ketika matanya menatap gadis yang masih berteriak marah itu.

Reina menghela napas. Seharusnya ia tidak perlu meladeni omongan gadis itu.
Lihat sekarang, ia menjadi tontonan banyak orang dan pipinya terasa sangat sakit. Saat semua orang mencoba menenangkannya, gadis itu malah menangis histeris.

Reina mengambil kesempatan untuk pergi menjauh dari tempat berisik itu, lalu duduk di sebuah kursi taman—yang letaknya cukup jauh dari tempat tadi. Ia memegangi pipinya yang pasti sudah berwarna merah saat ini. Ternyata, kekuatan perempuan bisa meningkat berkali-kali lipat saat marah. Dan dengan tidak beruntungnya, Reina menjadi korban amukan gadis yang sedang marah itu.

Step ForwardWhere stories live. Discover now