e m p a t

33 8 0
                                    

Saat itu mereka masih kelas 2 SMA.
Reihan mendapat pernyataan suka dari perempuan yang satu angkatan dengannya.

Reihan telah mengingatkan dari awal bahwa ia sangat dekat dengan Reina—dan kalau si perempuan tidak tahan dengan itu, lebih baik untuk tidak pacaran. Perempuan itu menerina keadaannya, dan akhirnya mereka resmi pacaran.

Saat mereka pacaran pun, Reihan lebih memilih mengantar Reina pulang daripada menonton film dengan pacarnya. Ia juga lebih memilih ikut Reina ke toko buku daripada berkencan. Reihan selalu lebih mementingkan Reina daripada pacarnya.

Pacarnya terlihat tidak mempermasalahkannya—atau seperti itulah yang ia tampakkan—jadi Reihan pikir mungkin hubungan mereka akan bertahan lama kali ini.

Namun ternyata, di belakang Reihan perempuan itu menyebarkan gosip yang tidak baik tentang Reina. Untung saja Reihan dengan cepat mengetahui hal itu dan langsung meluruskan gosip yang ada.
"Kami putus. Kira-kira pacarannya sebulan." Reihan mengakhiri ceritanya dengan dengkusan kasar.

Kalau mengingat hal itu, masih ada perasaan marah dalam dirinya. Perempuan yang hampir ia percayai ternyata bermuka dua dan menjelekkan sahabatnya sendiri.

"Ohh." Dina menganggukkan kepalanya paham. Sedetik kemudian matanya berubah tajam dan seram. "Siapa perempuan itu? Anak kampus sini?"

Reihan menggeleng, "Bukan. Aku lupa namanya, tapi yang pasti aku tak pernah melihat wajahnya lagi, terutama di kampus ini."

Saat ini Reihan sedang menunggu Reina yang pergi ke tempat fotokopi di depan kampus. Karena sudah sering ke sana, Reina memaksa sendirian ke sana. Sepertinya merasa terganggu dibuntuti Reihan terus. Maksudnya, hei, Reihan memperlakukannya seperti anak TK yang akan tersesat di mana pun. Itu membuat jiwa mandiri Reina merasa terganggu.

Pemuda itu akhirnya menunggu di bangku taman dengan ditemani Dina, satu-satunya teman dekat Reina di jurusannya.

Dina adalah gadis tomboi dengan sifat bersemangat dan cenderung heboh. Sangat berkebalikan dengan Reina yang pendiam dan tenang. Dengan perbedaan sifat itu, entah bagaimana mereka bisa jadi dekat. Reihan pun tak tahu pasti.

Dina tadi bertanya apa Reihan pernah punya pacar dan selama apa mereka pacaran. Sebenarnya Reihan pernah berpacaran 2 kali. Tapi hubungannya dengan satu perempuan lainnya hanya bertahan selama 5 hari.

"Jadi ... bisa dibilang kamu putus gara-gara lebih mementingkan Reina, 'kan?"

Reihan berpikir sebentar lalu menggeleng.
"Itu salah si perempuan juga. Siapa suruh menyebar gosip seperti itu. Lagipula, dari awal 'kan aku sudah peringatkan kalau aku dan Reina dekat. Kalau dia tidak tahan dengan hal itu, tinggal putus. Begitu saja repot."

"Tapi salah kamu juga! Kan si perempuan pacar kamu, tapi malah lebih mementingkan Reina. Kenapa tidak pacaran sama Reina saja sekalian?" ucap Dina membara.

Reihan menghelas napas. Entah sudah berapa kali ia mendengar ucapan 'kenapa tidak pacaran sama Reina saja?' atau ucapan 'kamu pacaran sama Reina?'.

Memangnya kalau dekat dengan lawan jenis harus pacaran dulu? Memangnya laki-laki dan perempuan tidak bisa bersahabat?

"Tentu saja aku lebih mementingkan sahabat yang sudah kukenal bertahun-tahun daripada pacar yang baru kukenal seminggu." Reihan mendengkus, melipat tangan di depan dadanya.

Dina ikut menghela napas setelahnya. Tidak ingin beradu mulut lebih jauh. Ia lalu bertopang dagu lalu menatap wajah pemuda itu lekat, "Memangnya kamu ingin punya pacar yang seperti apa? "

Tanpa perlu berpikir, Reihan berkata, "Cantik, baik, walau sedang susah tidak suka mengeluh, tidak cerewet, tidak kebanyakan drama, yang bisa berpikir dewasa, yang perha--"

Step ForwardWhere stories live. Discover now