d u a

55 12 2
                                    

Reina berdiri di depan pintu dengan menggunakan baju biru lengan panjang dan celana jeans hitam yang menutup sampai mata kaki. Ia ingat tiga hari yang lalu, ia menjanjikan untuk berkunjung ke rumah dengan warna cat krim-putih itu.

Dapat ia bayangkan, dibalik pintu ini, seorang wanita akan menyambut dengan senyum hangat di wajah. Membuatnya terlihat sangat cantik--bahkan diumurnya yang menginjak kepala empat. Reina sedikit mengawang, kapan ya, terkahir kali ia mendapat perlakuan begitu?

Rasanya sudah lama. Mengingat ia tak pernah mendapatkan perlakuan sehangat itu selain di tempat ini, untuk beberapa tahun ke belakang.

Tangan Reina hampir menyentuh bel, sekadar memberitahukan penghuni di balik pintu bahwa ia telah datang--tapi sebelum ia benar-benar berhasil melakukannya, seseorang telah membuka pintu dengan sedikit suara berisik.

Menoleh cepat ketika terkejut dengan sosok yang tiba-tiba membuka pintu, ia menemukan laki-laki dengan surai hitam kecokelatan itu sedang tersenyum lebar kepadanya.

Reina sedikit mengernyit. Memencet bel juga belum, bagaimana ia tahu Reina sudah datang?

Tentu saja pertanyaan itu tidak mendapat jawaban. Yang ia dapatkan adalah senyuman congkak, dengan sepasang alis bergerak naik-turun; rupanya pemuda itu merasa sombong karena sudah berhasil membuat Reina berekspresi—walau hanya sebuah kernyitan di dahi.

Reina masuk ke dalam rumah ketika Reihan membukakan jalan dengan menggeser posisi. Sebuah senyum semringah bertengger manis di wajahnya. Dalam hati, laki-laki itu membuat teriakan tanpa suara.

Misi membuat Reina keluar dari rumah, berhasil!

Reina mendapati seorang wanita sedang menunggu kedatangannya dari arah dapur, walaupun tatanan rambutnya pendek di atas bahu, hal itu sama sekali tak menghilangkan pesonanya sebagai seorang wanita cantik. Dialah ibu Reihan, dan juga mungkin merangkap jadi ibunya--karena wanita dengan nama asli Maura itu sering menyuruhnya untuk memanggilnya ibu.

Ia menyalimi Maura sebelum memberikan senyum tipis, setidaknya Reina tahu ia harus bersikap sopan pada orang yang telah berjasa pada hidupnya. Di waktu gadis itu terpuruk, ibu dan anak inilah yang membuatnya tetap bertahan.

"Akhirnya kamu datang juga, Rei. Kenapa baru sekarang? Padahal rumah tetanggaan tapi mau mampir saja seperti harus menempuh laut dan bukit dulu, susah sekali diajaknya." Maura memegang pipi Reina gemas, sedang yang punya pipi hanya tersenyum tipis.

"Begitulah, Ma. Reina ini orang sibuk. Jadwalnya itu tidak kalah padat sama artis yang sedang naik daun. Jadi cukup sulit menemukan waktu, bahkan hanya untuk mampir." Reihan menyahut enteng. Tangannya masih sibuk mengatur piring-piring di meja makan.

Reihan tersenyum miring saat menyadari Reina sudah melempar tatapan datar padanya, lalu membalasnya dengan menjulurkan lidah.

Dasar anak kecil. Reina hanya menggeleng sebagai respons dan memilih ikut membantu Maura menata berbagai hidangan di atas meja.

Selesai makan—sebelum Reina berhasil kabur untuk kembali bersemedi di dalam rumah—Reihan menariknya paksa untuk berjalan ke kamar.

Kamar Reihan. Reina mengerutkan dahi. Beberapa ingatan buruk terbayang dalam kepalanya. Jangan bilang ia harus kembali ke tempat itu, kan?

Step ForwardWhere stories live. Discover now