e n a m b e l a s

19 8 0
                                    

Setelah berkutat dengan tugas selama dua jam lebih, Reina baru mematikan laptop dengan sebuah hembusan napas lega. Ia melirik jam di dinding dan menemukan waktu telah menunjukkan pukul empat kurang sepuluh menit.

Hari ini Reina ada jadwal les dengan Jessie, tetangganya. Masih ada sepuluh menit sebelum waktunya ia harus berada di rumah gadis dengan beda umur tiga tahun dengannya itu, hingga ia dengan cepat mulai mempersiapkan buku yang harus ia bawa nanti.

Di saat senggang seperti ini, pikirannya langsung kembali melayang pada sosok gadis blak-blakan dan selalu ribut jika di dekatnya itu; Dina.

Dina tidak masuk kuliah beberapa hari terakhir, dan itu aneh. Sangat aneh, malahan. Sebelumnya ia tidak pernah seperti ini. Bahkan ketika Dina tidak menyukai dosen yang mengajar, atau menemukan pelajaran yang sulit baginya, ia tidak pernah lari. Ia akan tetap hadir, berusaha lebih keras memahami materi, meski itu berarti menyertakan begitu banyak keluhan selama pengerjaannya.

Lalu kenapa sekarang begini?

Reina tidak tahu. Ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada Dina, dan itulah yang membuatnya semakin khawatir.

Terakhir kali mereka bertemu adalah saat Reina berada di ruang kesehatan, dan Dina datang dengan sebuah luka lebam di pipi disertai ekspresi terpukul yang tak dapat disembunyikan. Dina juga tidak mau buka mulut tentang kejadian waktu itu hingga membuat Reina semakin khawatir.

Bagaimana kalau Dina terlibat dalam perkelahian? Bagaimana kalau ia terluka lagi? Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam pikiran dan berhasil membuatnya tidak fokus di setiap kali ia mulai memikirkannya.

Belum lagi masalah suara Raisa sesekali masih menghampirinya. Mengalun lembut tapi membuat dadanya sesak. Berusaha kembali mengingatnya juga membuat kepalanya sakit saja. Reina jadi sering terjebak lamunan tanpa mendapat solusi pasti, seperti kali ini.

Namun Reina berencana mengesampingkan masalah Raisa dan fokus pada sosok Dina saja saat ini. Kekhawatirannya lebih besar dan terus bertambah setiap kali ia berhasil menghubunginya; Dina tidak pernah mengatakan alasan mengapa ia absen dari kampus dan hanya bilang bahwa dia baik-baik saja.

Mana bisa Reina percaya jika dia mengatakannya dengan nada putus asa begitu? Dina seperti habis menangis, suaranya parau dan tanpa semangat. Sesuatu pasti telah terjadi. Dan ketidakberdayaan dirinya melakukan sesuatu untuk menyelamatkan sahabatnya itu menjadi pukulan telak tepat ke wajahnya.

Reina … tidak tahu harus melakukan apa.

Ilmu-ilmu yang ia dapat dari buku, pelajaran-pelajaran yang tanpa henti ia pelajari, semuanya tidak berguna sekarang.

Mata gelapnya melirik buku tulis dengan sampul biru di ujung meja. Seakan ada sebuah batu besar menahan dadanya, Reina jadi kesulitan bernapas.

Buku itu, buku yang selalu Dina pinjam karena ia sering tidak memperhatikan pelajaran, dan malah fokus untuk menemukan semua kesalahan yang mungkin dibuat oleh si dosen yang mengajar. Buku yang lebih sering berada di tempat Dina daripada pemiliknya; buku pelajaran kalkulus. Pelajaran yang membuat jarak mereka semakin pendek setiap harinya, karena Dina selalu meminta penjelasan pada Reina.

Reina mengulum bibirnya gelisah. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah menunggu sampai Dina kembali kuliah dan menceritakan semua padanya.

Matanya melirik jam sekali lagi, tiga menit sebelum jam empat. Sebuah helaan napas keluar bersamaan dengan tubuh yang mulai berdiri. Reina harus tetap fokus untuk sekarang. Tugas tetaplah harus dikerjakan, dan pikiran negatif ini tidak akan membawanya ke mana pun. Lagipula, Reihan berjanji akan membawa dirinya ke kost-an Dina kalau gadis itu masih begini dalam waktu seminggu.

Step ForwardUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum