t i g a

39 8 3
                                    

Liburan sudah berakhir seminggu yang lalu. Kini, Reihan sudah kembali disibukkan dengan berbagai macam kegiatan kampus, begitu pula dengan Reina.

Sekarang mereka berada di semester ketiga, dan sebenarnya, Reihan dan Reina berada di jurusan yang berbeda. Reina memilih jurusan Pendidikan Matematika, sedangkan Reihan memilih jurusan Teknik Mesin.

Hari itu, sebenarnya kelas Reihan baru saja usai. Namun pemuda itu masih belum beranjak dari tempat duduk dan malah mengeluarkan ponsel untuk bermain game.

Salah satu teman yang duduk tepat di samping Reihan menoleh sambil memasukkan bukunya ke dalam tas, menatap bingung laki-laki itu, "Tidak pulang, Han? Bukannya gak ada kelas lagi ya?"

Reihan membalas dengan dehaman, sedangkan matanya masih terfokus pada layar ponsel. Lambat-lambat, ia bergumam, "Lagi nunggu Reina."

Sebenarnya, kegiatan antar jemput itu cukup menyulitkan sekarang. Perbedaan jadwal kuliah, tugas yang membuat mereka harus pulang lebih lambat, dan banyak lagi. Namun ya, seperti yang ia janjikan pada Reina waktu itu—saat mereka makan bersama di rumahnya—semerepotkan apa pun jadinya kegiatan antar-jemput ini, Reihan akan mengantarnya.

Dan Reihan tidak berniat mengingkari ucapannya sendiri.

Biasanya mereka akan saling tunggu-menunggu sampai yang lain selesai dengan urusan kampus; Reina biasanya menunggu di perpustakaan, sedangkan Reihan biasanya di dalam kelas atau kantin.

Laki-laki yang tadi bertanya--Bagas membulatkan mata tak percaya, "Masih ngantar jemput Reina kamu? Jangan bilang kalian udah jadian? Kalau benar PJ oi, PJ! "

Suara temannya itu jadi terasa menyebalkan karena Reihan sedang dalam mode 'jangan diganggu' saat ini. Karena itu, Reihan hanya mengabaikannya. Fokus Reihan. Bentar lagi menang nih!

Teman Reihan yang lain--Rendi ikut duduk di sampingnya. Mulai tertarik dengan pembahasan kedua laki-laki itu. Ia ikut buka suara, "Kenapa gak bilang kalau jadian? Dari gelagatnya sih, emang udah kayak orang pacaran. Sudah lama?"

Reihan berdeham lagi. Teman-temannya ini ternyata bukan pria yang peka. Tahu saja ia sedang main, malah diganggu. Omongannya ngawur lagi. Siapa juga yang bilang ia dan Reina pacaran?

"Gak pacaran, kok," kata Reihan akhirnya.

"Gak pacaran? Yakin?" Bagas kembali bertanya dan hanya dihadiahi dehaman oleh Reihan, untuk ke sekian kalinya.

Kedua laki-laki itu mendecak. Ini masalah serius. Reina dan Reihan telah mengeluarkan tanda-tanda hubungan tanpa status. Atau bisa juga, hubungan dalam zona lingkaran setan yang bernama persahabatan. Tapi kenapa temannya itu terlihat biasa saja? Apa Reihan sudah tak waras lagi?

Rendi mendengus. Sepertinya memang tidak waras. Reihan harus diinterogasi secara serius, pikirnya. Dengan sekali tarik, ia ambil ponsel Reihan dan langsung dihadiahi wajah bingung laki-laki itu. "Kita harus bicara." Rendi lalu melirik Bagas yang sepertinya juga mengerti maksud dari kelakuannya.

Bagas lalu berpindah duduk hingga ia dan Reihan saling berhadapan. Reihan menatap bingung sekaligus marah, karena tiba-tiba diganggu saat main. Sebenarnya teman-temannya ini kenapa, sih?

"Tolong tenang. Sesi interogasi akan dimulai. Saudara Reihan dimohonkan untuk duduk dengan benar. "

Reihan merotasikan mata jengah. Menyimpan emosi terasa jadi semakin sulit berkat temannya yang satu itu mulai berakting menyebalkan. Dasar anak teater. Lagaknya sudah seperti ingin mengintrogasi pelaku kriminal saja.

"Saudara Rendi dipersilakan mengajukan pertanyaan."

Pandangan Reihan secara otomatis beralih pada Rendi yang kini juga berekspresi serius. Astaga ... Reihan, tahan emosi.

Step ForwardOù les histoires vivent. Découvrez maintenant