s e p u l u h

35 9 2
                                    

"Ah, benar juga. Bukan Reina yang marah, tapi kamu, 'kan? "

Reihan menatap lawan bicaranya dengan tangan mengepal kuat. Ada perasaan marah dalam dirinya yang ditujukan pada Angga, dan entah kenapa rasanya memukul wajah cogan itu pasti akan terasa sangat menyenangkan sekarang.

Tetapi bagaimanapun, Reihan mencoba meredam emosinya. Menginjak perasaan itu hingga kedasar hati, dan membiarkan akalnya yang bekerja. Reihan yakin, Reina akan sangat tidak suka bila terjadi perkelahian. Apalagi bila sampai ada adu pukul. Ia menghela napas rendah sebelum akhirnya menjawab, "Tentu saja aku marah, 'kan? Kamu tiba-tiba mendekati Reina. Apa alasanmu sebenarnya? Apa yang kamu inginkan dari Reina?"

Suara kekehan keluar dari mulut Angga,  setelah beberapa saat lalu terdiam dengan garis muka tak jelas.

Membuat Reihan bingung dengan tampang melongo. Dia tidak gila 'kan? Tadi diam, lalu tiba-tiba tertawa. Reihan jadi semakin tidak mau Angga dekat-dekat dengan Reina. Coba bayangkan kalau tiba-tiba Reina yang datar tertawa seperti itu, mungkin ia akan langsung membawa Reina ke tempat ruqyah. Takut-takut Reina kerasukan.

"Tolong jangan menatapku begitu. Aku hanya merasa lucu. Apa kamu ... cemburu?"

Angga kembali terkekeh setelah melihat reaksi Reihan saat ia menanyakan hal itu.
Dengan alis yang hampir bertaut dan mata yang memancarkan begitu banyak kebingungan, ia bahkan tidak tahu lagi apakah pertanyaan tadi terlalu tepat sasaran atau terlalu mengada-ngada.

Reihan terdiam lama. Berpikir keras tentang pertanyaan Angga sampai terdapat tiga lekukan di dahinya. Cemburu? Aku? Dengan kedekatan mereka? Cepat-cepat ia menggelengkan kepala keras.

"Tidak, bukan begitu. Aku hanya tidak mau Reina berteman dengan orang yang punya maksud tertentu. Aku masih belum tahu maksudmu mendekatinya, siapa tahu kamu hanya memanfaatkannya."

Mengangkat sebelah alisnya heran ketika mendapati perkataan Reihan menyinggungnya, Angga terdiam dengan sudut bibir yang turun ke bawah. Sebenarnya Angga tak pernah menganggap serius kelakuan kekanakan Reihan. Tapi bila disulut sampai begini, ia juga bisa marah.

Angga menjawab sengit, "Jangan sembarangan. Aku hanya ingin berteman dengannya. Apa yang salah dengan itu?"

"Yang salah itu sikapmu. Tiba-tiba sok kenal begitu, tentu saja aku curiga," balas Reihan tak kalah sengit.

"Memangnya siapa kamu? Pacar juga bukan, tidak perlu lah terlalu mencampuri urusanku dengan Reina."

Jleb.

Rasanya tertohok tepat ke hati. Kalau kata orang, sakit tapi tidak berdarah. Lagi Reihan terdiam lama. Memikirkan kata-kata itu dalam kepalanya. Benar juga, apa hubungannya semua ini dengan Reihan? Kenapa ia merasa sangat marah dan bertanggung jawab untuk memisahkan mereka?

Reihan meneguk ludahnya yang terasa pahit. Kerongkongannya terasa kering. Hanya dengan satu kalimat, ia merasa mati kutu. Walau begitu, ia mencoba membalas dengan tergagap, "Te-tentu saja ada hubungannya demganku. Dia sudah seperti adikku, dan tentu aku tidak mau dia dekat dengan orang sembarangan."

Bukannya membalas, Angga malah tersenyum miring. Ia tahu Reihan sudah terdesak. Apalagi alasannya seklise itu. Dapat ia rasakan pemuda di depannya ini akan kalah hanya dengan satu kalimat yamg ada di kepalanya. Ia terkekeh sebelum menjawab, "Meski kamu menganggap Reina adikmu—pada akhirnya kalian tidak ada hubungan apa pun, kan?"

Brak!

Suara tubuh Reihan yang tiba-tiba menyenggol meja makan terdengar cukup keras. Reihan mencengkeram kerah baju Angga kuat, hingga tubuhnya tertarik maju. Untungnya, tidak ada gelas ataupun piring yang terhempas jatuh karena aksinya.

Step ForwardWhere stories live. Discover now