t u j u h

22 8 0
                                    

Setelah beberapa menit bertukar konversasi yang kebanyakan didominasi oleh Sekar itu, akhirnya Sekar pergi pamit karena sebentar lagi ada kelas. Reina melihat kepergian Sekar sampai punggung itu menghilang, lalu menghela napas setelahnya. Akhirnya ia sendirian lagi.

Meskipun Sekar bukanlah orang yang patut dicurigai, rasanya melelahkan juga harus berkomunikasi dengan orang lain. Reina lalu melirik jam di tangan kanannya. Sudah pukul 4 sore, sebentar lagi Reihan selesai. Mungkin ia akan menunggu Reihan di sini saja.

Reina kembali melamun. Ia teringat senyum Sekar tadi.

Tidak salah lagi, senyum itu benar-benar mengingatkannya pada senyum seseorang; senyum kakaknya.

Kalau saja kakaknya masih ada di sini—di sisinya, dan melihat luka di pipi Reina, apa yang akan kakaknya lakukan, ya? Ia pun bertanya tanya.

Marah kah? Khawatir? Atau mungkin dua-duanya?

Memikirkan hal itu, Reina kembali mengembangkan senyum tipis. Rasanya aneh karena ia bisa mengingat tentang kakaknya tanpa merasakan dadanya sesak. Rasa kehilangan selalu mengambil alih dirinya, jadi duluia memilih untuk menyimpan kenangan itu dalam-dalam di dasar ingatannya.

Reina pun bertanya-tanya kenapa hanya dengan melihat Sekar membuatnya bisa menjadi lebih baik begini.

Reina mengerjap lalu kembali menghela napas. Ia menggelengkan kepala pelan. Sepertinya hari ini dia sering sekali melamun. Ia memasang masker yang tadi diberikan Sekar, untuk menyembunyikan bekas merah di pipinya.

Karena tempatnya sekarang duduk terasa nyaman dan terhindar dari matahari, rasanya cukup pas untuk belajar sambil menghabiskan waktu. Reina membuka tas lalu mengambil salah satu buku tebalnya, dan mulai membaca dengan tenang setelahnya.

Reihan sering kali menyuruhnya untuk beristirahat dari kegiatan belajar. Tapi belajar adalah kegiatan utamanya, ketika tidak belajar, rasanya Reina bingung harus melakukan apa. Dia bukanlah tipe yang suka main sosial media, atau main game di ponsel. Ia tidak punya ketertarikan pada film, drama, maupun kartun.

Hidupnya terlalu lurus.

Hingga selalu memikikirkan keuntungan dari hal yang ia perbuat. Dan kalau hanya kegiatan yang membuang waktu, sudah pasti ia singkirkan sejauh-jauhnya dari jadwalnya. Apalagi dia hidup hanya dari sisa uang orangtua dan gaji dari les privat. Ia harus pandai-pandai memanajemen uang untuk hal penting saja.

Namun, setiap kali Reihan mencoba membujuknya, Reina memilih diam. Tidak ingin mengatakan alasan yang sebenarnya. Karena jika Reihan tahu, pasti pemuda itu akan merasa sedih.

Seseorang menepuk pundaknya, membuyarkan lamunan Reina yang entah keberapa kalinya hari ini. Reina menengadah dan menemukan seorang pemuda dengan perawakan tinggi sedang tersenyum kearahnya.

Reina mengangkat sebelah alisnya, "Ada apa ya?"

"Aku Angga, mahasiswa semeter tujuh. Aku ke sini ingin menawarimu sesuatu." Pemuda bernama Angga tersenyum manis, "Kamu mau bergabung ke organisasi BEM tidak?"

Reina terdiam dengan alis yang terangkat bingung. Pasalnya, kakak tingkat yang dibilang bernama Angga ini dengan tiba-tiba menawarinya ikut salah satu organisasi kampus.

Aneh saja, bukannya biasanya yang terdaftar dalam anggota BEM adalah orang yang memang mendaftar dan mengikuti tesnya? Lalu sekarang kenapa dirinya tiba-tiba ditawari?

Merasa curiga, Reina jelas langsung menolak. "Maaf, Kak. Aku tidak bisa."

"Eh? Ditolak langsung? Tidak mau dipikirkan dulu?"

Reina menggeleng lalu menutup buku dan memasukkannya ke dalam tas. Ia tidak suka berurusan dengan orang asing dan tidak mungkin Reina mengusir seseorang yang lebih tua darinya itu secara langsung, jadi lebih baik ia yang pergi.

Step ForwardWhere stories live. Discover now